‘Urwah
Bin Az-Zubair
(Kakinya Dibuntung Dengan Gergaji, Karena
Menolak Khamar Dan Bius)
“Barangsiapa
ingin melihat seseorang dari ahli Surga, hendaklah ia melihat ‘Urwah bin
az-Zubair” (Abdul Malik bin Marwan)
Baru saja matahari sore itu
memancarkan sinarnya di Baitul Haram dan mempersilahkan jiwa-jiwa yang bening
untuk mengunjungi buminya yang suci tatkala sisa-sisa para sahabat Rasulullah
SAW dan para pembesar tabi’in mulai berthawaf di sekeliling Ka’bah,
mengharumkan suasana dengan pekikan tahlil dan takbir dan memenuhi hamparan
dengan do’a-do’a kebaikan.
Dan tatkala orang-orang membuat lingkaran per-kelompok di sekitar Ka’bah nan agung, yang berdiri kokoh di tengah Baitul Haram dalam kondisi yang berwibawa dan agung. Mereka memenuhi pandangan dengan keindahannya yang memikat, dan memoderator pembicaraan-pembicaraan di antara mereka tanpa keisengan dan perkataan dosa.
Di dekat Rukun Yamani, duduklah
empat orang pemuda yang masih remaja dan terhormat nasabnya serta berbaju harum
seakan-akan mereka bagaikan merpati-merpati masjid, berbaju mengkilat dan
membuat hati jinak karenanya.
Mereka itu adalah ‘Abdullah bin
az-Zubair, saudaranya; Mus’ab bin az-Zubair, saudara mereka berdua; Urwah bin
az-Zubair dan Abdul Malik bin Marwan.
Terjadi perbincangan ringan dan sejuk di antara anak-anak muda ini, lalu tidak lama kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Hendaklah masing-masing dari kita memohon kepada Allah apa yang hendak dia cita-citakan.”
Terjadi perbincangan ringan dan sejuk di antara anak-anak muda ini, lalu tidak lama kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Hendaklah masing-masing dari kita memohon kepada Allah apa yang hendak dia cita-citakan.”
Maka khayalan mereka terbang ke alam
ghaib nan luas, angan-angan mereka berputar-putar di taman-taman harapan nan
hijau, kemudian Abdullah bin az-Zubair berkata,“Cita-citaku, aku ingin menguasai
Hijaz dan memegang khilafah.” Saudaranya, Mus’ab berkata, “Kalau aku, aku ingin
menguasai dua Irak (Kufah dan Bashrah) sehingga tidak ada orang yang
menyaingiku.” Sedangkan Abdul Malik bin Marwan berkata, “Jika anda berdua hanya
puas dengan hal itu saja, maka aku tidak akan puas kecuali menguasai dunia
semuanya dan aku ingin memegang kekhilifahan setelah Muawiyah bin Abi Sufyan.”Sementara
‘Urwah bin az-Zubair terdiam dan tidak berbicara satu kalimat pun, maka
saudara-saudaranya tersebut menoleh ke arahnya dan berkata, “Apa yang kamu
cita-citakan wahai Urwah?” Dia menjawab, “Mudah-mudahan Allah memberkati kalian
semua terhadap apa yang kalian cita-citakan dalam urusan dunia kalian.
Sedangkan aku hanya bercita-cita ingin menjadi seorang ‘alim yang ‘Amil
(Mengamalkan ilmunya), orang-orang belajar Kitab Rabb, Sunnah Nabi dan
hukum-hukum agama mereka kepadaku dan aku mendapatkan keberuntungan di akhirat dengan
ridla Allah dan mendapatkan surga-Nya.”
Kemudian waktu pun berjalan begitu
cepat, sehingga memang kemudian Abdullah bin az-Zubair dibai’at menjadi
Khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah (Khalifah ke dua dari khilafah
Bani Umayyah), dan dia pun menguasai kawasan Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan
Iraq. Kemudian dia dibunuh di sisi Ka’bah tidak jauh dari tempat dimana dia
pernah bercita-cita tentang hal itu.
Dan ternyata Mus’ab bin Az-Zubair
pun menguasai pemerintahan Iraq sepeninggal saudaranya, ‘Abdullah namun dia
juga dibunuh di dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut.
Demikian pula, Abdul Malik bin
Marwan memangku jabatan Khalifah setelah ayahnya wafat, dan di tangannya kaum
Muslim bersatu setelah pembunuhan terhadap ‘Abdullah bin az-Zubair dan
saudaranya, Mus’ab di tangan pasukan-pasukannya. Kemudian dia menjadi penguasa
terbesar di dunia pada zamannya. Lalu bagaimana dengan ‘Urwah bin Az-Zubair?
Mari kita mulai kisahnya dari pertama.
‘Urwah bin az-Zubair dilahirkan
setahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Umar al-Faruq, di dalam keluarga
paling terpandang dan terhormat kedudukannya dari sekian banyak keluarga-keluarga
kaum muslimin. Ayahnya adalah az-Zubair bin al-’Awwam, sahabat dekat dan
pendukung Rasulullah SAW, orang pertama yang menghunus pedang di dalam Islam
dan salah satu dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga. Ibunya bernama
Asma` binti Abu Bakar yang bergelar berjuluk “Dzatun Nithaqain” (Pemilik dua
ikat pinggang. Hal ini karena dia merobek ikat pinggangnya menjadi dua pada saat
hijrah, salah satunya dia gunakan untuk mengikat bekal Rasulullah SAW dan yang
satu lagi dia gunakan untuk mengikat bekal makanannya).
Kakeknya pancar (dari pihak) ibunya
tidak lain adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah Rasulullah SAW dan sahabatnya
ketika berada di dalam goa (Tsur). Neneknya pancar (dari pihak) ayahnya bernama
Shafiyyah binti Abdul Muththalib bibi Rasulullah SAW sedangkan bibinya adalah
Ummul Mukminin ‘Aisyah RA. Pada saat jenazah ‘Aisyah dikubur, ‘Urwah sendiri
yang turun ke kuburnya dan meratakan liang lahadnya dengan kedua tangannya.
Apakah anda mengira bahwa setelah
kedudukan ini, ada kedudukan lain dan bahwa di atas kemuliaan ini, ada
kemuliaan lain selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam? Untuk merealisasikan
cita-cita yang telah diharapkannya perkenaan Allah atasnya saat di sisi Ka’bah
itu, dia tekun di dalam mencari ilmu dan memfokuskan diri untuknya serta
menggunakan kesempatan untuk menimba ilmu dari sisa-sisa para sahabat
Rasulullah SAW yang masih hidup.
Dia rajin mendatangi rumah-rumah
mereka, shalat di belakang mereka dan mengikuti pengajian-pengajian mereka,
sehingga dia berhasil mentrasfer riwayat dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman
bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin
Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan an-Nu’man bin Basyir. Dia banyak
sekali mentransfer riwayat dari bibinya, ‘Aisyah Ummul Mukminin sehingga dia
menjadi salah satu dari tujuh Ahli fiqih Madinah (al-Fuqahâ` as-Sab’ah) yang
menjadi rujukan kaum muslimin di dalam mempelajari agama mereka.
Para pejabat yang shaleh meminta
bantuan mereka di dalam mengemban tugas yang dilimpahkan Allah kepada mereka
terhadap urusan umat dan negara.
Di antara contohnya adalah tindakan Umar bin Abdul Aziz ketika datang ke Madinah sebagai gubernurnya atas mandat dari al-Walid bin Abdul Malik. Orang-orang datang kepadanya untuk menyampaikan salam. Ketika selesai melaksanakan shalat dhuhur, dia memanggil sepuluh Ahli fiqih Madinah yang diketuai oleh ‘Urwah bin Az-Zubair. Ketika mereka sudah berada di sisinya, dia menyambut mereka dengan sambutan hangat dan memuliakan tempat duduk mereka. Kemudian dia memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas bagi-Nya, lalu berkata,
Di antara contohnya adalah tindakan Umar bin Abdul Aziz ketika datang ke Madinah sebagai gubernurnya atas mandat dari al-Walid bin Abdul Malik. Orang-orang datang kepadanya untuk menyampaikan salam. Ketika selesai melaksanakan shalat dhuhur, dia memanggil sepuluh Ahli fiqih Madinah yang diketuai oleh ‘Urwah bin Az-Zubair. Ketika mereka sudah berada di sisinya, dia menyambut mereka dengan sambutan hangat dan memuliakan tempat duduk mereka. Kemudian dia memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas bagi-Nya, lalu berkata,
“Sesungguhnya aku memanggil kalian
semua untuk sesuatu yang kiranya kalian semua diganjar pahala karenanya dan
menjadi pendukung-pendukungku dalam berjalan di atas kebenaran. Aku tidak ingin
memutuskan sesuatu tanpa pendapat kalian semua, atau pendapat orang yang hadir
dari kalian-kalian semua. Jika kalian semua melihat seseorang menyakit orang
lain, atau mendengar suatu kedzaliman dilakukan oleh pegawaiku, maka demi
Allah, aku meminta agar kalian melaporkannya kepadaku.”
Maka ‘Urwah bin az-Zubair mendo’akan
kebaikan baginyanya dan memohon kepada Allah agar menganugerahinya ketepatan
(dalam bertindak dan berbicara) dan mendapatkan petunjuk.
‘Urwah bin az-Zubair benar-benar
menyatukan ilmu dan amal. Dia banyak berpuasa di kala hari demikian teriknya
dan banyak shalat malam di kala malam gelap gulit, selalu membasahkan lisannya
dengan dzikir kepada Allah Ta’ala.
Selain itu, dia selalu menyertai
Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan tekun membacanya. Setiap harinya, dia membaca
seperempat al-Qur’an dengan melihat ke Mushafnya. Kemudian dia membacanya di
dalam shalat malam hari dengan hafalan. Dia tidak pernah meninggalkan
kebiasaannya itu semenjak menginjak remaja hingga wafatnya, kecuali satu kali
disebabkan adanya musibah yang menimpanya. Mengenai apa musibah itu, akan dihadirkan
kepada pembaca nanti. Sungguh ‘Urwah bin az-Zubair mendapatkan kedamaian hati,
kesejukan mata dan surga dunia di dalam shalatnya, karenanya, dia melakukannya
dengan sebaik-baiknya, melengkapi syarat rukunnya dengan sempurna dan
berlama-lama di dalamnya.
Diriwayatkan tentangnya bahwa dia
pernah melihat seorang yang sedang melakukan shalat dengan ringan (cepat), maka
ketika orang itu telah selesai shalat, dia memanggilnya dan berkata kepadanya,
“Wahai anak saudaraku, Apakah anda tidak mempunyai keperluan kepada Tuhanmu
‘Azza wa Jalla?! Demi Allah sesungguhnya aku memohon kepada Allah di dalam
shalatku segala sesuatu bahkan garam.”
‘Urwah bin Az-Zubair adalah juga
seorang dermawan, pema’af dan pemurah. Di antara contoh kedermawanannya, bahwa
dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di seantero Madinah. Airnya nikmat,
pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya tinggi. Dia memagari kebunnya selama
setahun untuk menjaga agar pohon-pohonnya terhindar dari gangguan binatang dan
keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang waktu panen, buah-buahnya siap
dipetik dan siap dimakan, dia menghancurkan kembali pagar kebunnya tersebut di
banyak arah supaya orang-orang mudah untuk memasukinya.
Maka mereka pun memasukinya, datang
dan kembali untuk memakan buah-buahnya dan membawanya pulang dengan sesuka hati.
Dan setiap kali dia memasuki kebunnya ini, dia mengulang-ulang firman Allah,
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu ” MASYA
ALLAH, LAA QUWWATA ILLA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini
terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)” (Q.,s.al-Kahfi:39)
Dan pada suatu tahun dari
kekhilafahan al-Walid bin Abdul Malik (khalifah ke enam dari khalifah-khalifah
Bani Umayyah, dan pada zamannya kekuasaan Islam mencapai puncaknya), Allah Azza
wa Jalla berkehendak untuk menguji ‘Urwah bin az-Zubair dengan ujian yang
berat, yang tidak akan ada orang yang mampu bertahan menghadapinya kecuali
orang yang hatinya penuh dengan keimanan dan keyakinan.
Khalifah kaum muslimin mengundang
‘Urwah bin az-Zubair supaya mengunjunginya di Damaskus, lalu Urwah memenuhi
undangan tersebut dan membawa serta putra tertuanya. Dan ketika sudah datang,
Khalifah menyambutnya dengan sambutan yang hangat dan memuliakannya dengan
penuh keagungan. Namun saat di sana, Allah SWT berkehendak lain, tatkala putra
‘Urwah memasuki kandang kuda al-Walid untuk bermain-main dengan kuda-kudanya
yang tangkas, lalu salah satu dari kuda itu menendangnya dengan keras hingga
dia meninggal seketika.
Belum lama sang ayah yang bersedih
menguburkan putranya, salah satu kakinya terkena tumor ganas (semacam kusta)
yang dapat menjalar ke seluruh tubuh. Betisnya membengkak dan tumor itu dengan
sangat cepat berkembang dan menjalar. Karena itu, Khalifah memanggil para
dokter dari segala penjuru untuk tamunya dan meminta mereka untuk mengobatinya
dengan segala cara. Akan tetapi, para dokter sepakat bahwa tidak ada jalan lain
untuk mengatasinya selain memotong betis ‘Urwah, sebelum tumor itu menjalar ke
seluruh tubuhnya dan merenggut nyawanya. Maka, tidak ada alasan lagi untuk
tidak menerima kenyataan itu.
Ketika dokter bedah datang untuk
memotong betis ‘Urwah dan membawa peralatannya untuk membelah daging serta
gergaji untuk memotong tulang, dia berkata kepada ‘Urwah, “Menurutku anda harus
meminum sesuatu yang memabukkan supaya anda tidak merasa sakit ketika kaki anda
dipotong.”Maka Urwah berkata, “O..tidak, itu tidak mungkin! Aku tidak akan
menggunakan sesuatu yang haram terhadap kesembuhan yang aku harapkan.” Maka
dokter itu berkata lagi, “Kalau begitu
aku akan membius anda.” Urwah berkata,“Aku tidak ingin, kalau ada satu dari
anggota badanku yang diambil sedangkan aku tidak merasakan sakitnya. Aku hanya
mengharap pahala di sisi Allah atas hal ini.”
Ketika dokter bedah itu mulai
memotong betis, datanglah beberapa orang tokoh kepada ‘Urwah, maka ‘Urwah pun
berkata, “Untuk apa mereka datang?.” Ada yang menjawab, “Mereka didatangkan
untuk memegang anda, barangkali anda merasakan sakit yang amat sangat, lalu
anda menarik kaki anda dan akhirnya membahayakan anda sendiri.” Lalu ‘Urwah
berkata,
“Suruh mereka kembali. Aku tidak membutuhkan mereka dan berharap kalian merasa cukup dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan.”
“Suruh mereka kembali. Aku tidak membutuhkan mereka dan berharap kalian merasa cukup dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan.”
Kemudian dokter mendekatinya dan
memotong dagingnya dengan alat bedah, dan ketika sampai kepada tulang, dia
meletakkan gergaji padanya dan mulai menggergajinya, sementara ‘Urwah membaca,
“Lâ ilâha illallâh, wallâhu Akbar.” Dokter terus menggergaji, sedangkan ‘Urwah
tak henti bertahlil dan bertakbir hingga akhirnya kaki itu buntung. Kemudian
dipanaskanlah minyak di dalam bejana besi, lalu kaki Urwah dicelupkan ke
dalamnya untuk menghentikan darah yang keluar dan menutup luka. Ketika itulah,
‘Urwah pingsan sekian lama yang menghalanginya untuk membaca jatah membaca
Kitab Allah pada hari itu. Dan itu adalah satu-satunya kebaikan (bacaan
al-Qur’an) yang terlewati olehnya semenjak dia menginjak remaja. Dan ketika
siuman, ‘Urwah meminta potongan kakinya lalu mengelus-elus dengan tangannya dan
menimang-nimangnya seraya berkata,
“Sungguh, Demi Dzat Yang Mendorongku
untuk mengajakmu berjalan di tengah malam menuju masjid, Dia Maha mengetahui
bahwa aku tidak pernah sekalipun membawamu berjalan kepada hal yang haram.”
Kemudian dia mengucapkan bait-bait
sya’ir karya Ma’n bin Aus,
Demi Engkau, aku tidak pernah menginjakkan telapak tanganku pada sesuatu yang meragukan
Kakiku tidak pernah mengajakku untuk melakukan kekejian
Telinga dan mataku tidak pernah menggiringku kepadanya
Pendapatku dan akalku tidak pernah menunjuk kepadanya
Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah musibah menimpaku sepanjang masa melainkan ia telah menimpa orang sebelumku
Demi Engkau, aku tidak pernah menginjakkan telapak tanganku pada sesuatu yang meragukan
Kakiku tidak pernah mengajakku untuk melakukan kekejian
Telinga dan mataku tidak pernah menggiringku kepadanya
Pendapatku dan akalku tidak pernah menunjuk kepadanya
Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah musibah menimpaku sepanjang masa melainkan ia telah menimpa orang sebelumku
Al-Walid bin Abdul Malik benar-benar
merasa sedih terhadap musibah yang menimpa tamu agungnya. Dia kehilangan
putranya, lalu dalam beberapa hari kehilangan kakinya pula, maka al-Walid tidak
bosan-bosan menjenguknya dan mensugestinya untuk bersabar terhadap musibah yang
dialaminya.
Kebetulan ketika itu, ada sekelompok
orang dari Bani ‘Abs singgah di kediaman Khalifah, di antara mereka ada seorang
buta, lalu al-Walid bertanya kepadanya perihal sebab kebutaannya, lalu orang
itu mejawab,
“Wahai Amirul mukminin, di dalam
komunitas Bani ‘Abs tidak ada orang yang harta, keluarga dan anaknya lebih
banyak dariku. Lalu aku bersama harta dan keluargaku singgah di pedalaman suatu
lembah dari lembah-lembah tempat tinggal kaumku, lalu terjadi banjir besar yang
belum pernah aku saksikan sebelumnya. Banjir itu menghanyutkan semua yang aku
miliki; harta, keluarga dana anak. Yang tersisa hanyalah seekor onta dan bayi
yang baru lahir. Sedangkan onta yang tersisa itu adalah onta yang binal
sehingga lepas. Akibatnya, aku meninggalkan sang bayi tidur di atas tanah untuk
mengejar onta tersebut. Belum begitu jauh aku meninggalkan tempat ku hingga
tiba-tiba aku mendengar jeritan bayi tersebut. Aku menoleh namun ternyata
kepalanya telah berada di mulut serigala yang sedang menyantapnya. Aku segera
menyongsongnya namun sayang aku tidak bisa menyelamatkannya, karena srigala
telah membunuhnya. Lalu aku mengejar onta dan ketika aku berada di dekatnya, ia
menendangku dengan kakinya. Tendangan itu mengenai wajahku, sehingga keningku
robek dan mataku buta. Begitulah aku mendapatkan diriku di dalam satu malam
telah menjadi orang yang tanpa keluarga, anak, harta dan mata.”
Maka al-Walid berkata kepada
pengawalnya,
“Ajaklah orang ini menemui tamu kita ‘Urwah bin az-Zubair. Mintalah dia mengisahkan ceritanya supaya ‘Urwah mengetahui bahwa ternyata masih ada orang yang mengalami cobaan yang lebih berat darinya.”
“Ajaklah orang ini menemui tamu kita ‘Urwah bin az-Zubair. Mintalah dia mengisahkan ceritanya supaya ‘Urwah mengetahui bahwa ternyata masih ada orang yang mengalami cobaan yang lebih berat darinya.”
Ketika ‘Urwah diangkut ke Madinah
dan dipertemukan dengan keluarganya, dia mendahului mereka dengan ucapan, “Jangan
kalian merasa ngeri terhadap apa yang kalian lihat. Allah ‘Azza wa Jalla
telahmenganugerahuiku empat orang anak, lalu mengambil satu di antara mereka
dan masih menyisakan tiga orang lagi. Segala puji hanya untuk-Nya. Dan Dia
memberiku empat anggota badan, kemudian Dia mengambil satu darinya dan
menyisakan tiga untukku, maka segala puji bagi-Nya. Dia juga telah memberiku
empat buah yang memiliki ujung (kedua tangan dan kedua kaki-red.,), lalu Dia
mengambilnya satu dan menyisakan tiga buah lagi untukku. Dan demi Allah, Jika
pun Dia telah mengambil sedikit dariku namun telah menyisakan banyak untukku.
Dan jika pun Dia mengujiku satu kali namun Dia telah mengaruniaiku kesehatan
berkali-kali.”
Ketika penduduk Madinah mengetahui
kedatangan imam dan orang ‘alim mereka, ‘Urwah bin az-Zubair, mereka
berbondong-bondong datang ke rumahnya untuk menghibur dan menjenguknya. Di
antara untaian kata ta’ziah yang paling berkesan adalah perkataan Ibrahim bin
Muhammad bin Thalhah kepadanya,
“Bergembiralah wahai Abu Abdillah!
salah satu anggota badan dan anakmu telah mendahuluimu menuju surga dan yang
keseluruhannya akan mengikuti yang sebagiannya itu, insya Allah Ta’ala.
Sungguh, Allah telah menyisakan sesuatu darimu untuk kami yang sangat kami butuhkan
dan perlukan, yaitu ilmu, fiqih dan pendapat anda. Mudah-mudahan Allah
menjadikan hal itu bermanfaat bagimu dan kami. Allah lah Dzat Yang Maha
menanggung pahala untukmu dan Yang menjamin balasan kebaikan amalmu.”
‘Urwah bin az-Zubair tetap menjadi menara
hidayah, petunjuk kebahagiaan dan penyeru kebaikan bagi kaum muslimin sepanjang
hidupnya. Dia sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya, khususnya, dan
anak-anak kaum muslimin lainnya, umumnya. Dia tidak pernah membiarkan
kesempatan berlalu tanpa digunakannya untuk memberikan penyuluhan dan nasehat
kepada mereka.
Di antara contohnya, dia selalu
mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu ketika berkata kepada mereka, “Wahai
anakku, tuntutlah ilmu dan kerahkanlah segala kemampuan dengan semestinya.
Karena, jika kamu sekarang ini hanya sebagai orang-orang kecil, mudahan-mudahan
saja berkat ilmu, Allah menjadikan kamu orang-orang besar.” Penuturan lainnya, “Aduh
betapa buruknya, apakah di dunia ini ada sesuatu yang lebih buruk daripada
orang tua yang bodoh?.”
Dia juga menyuruh mereka untuk
menilai sedekah sebagai hadiah yang dipersembahkan untuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Yaitu, dalam ucapannya,“Wahai anakku, janganlah sekali-kali salah seorang di
antara kamu mempersembahkan hadiah kepada Rabb-nya berupa sesuatu yang dia
merasa malu kalau dihadiahkan kepada tokoh yang dimuliakan dari kaumnya. Karena
Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Paling Mulia, dan Paling Dermawan serta Yang
Paling Berhak untuk dipilihkan untuk-Nya.”
Dia juga pernah memberikan pandangan
kepada mereka (anak-anaknya) tentang tipikal manusia dan seakan mengajak mereka
menembus langsung menuju siapa inti dari mereka itu, “Wahai anakku, jika kamu
melihat seseorang berbuat kebaikan yang amat menawan, maka harapkanlah kebaikan
dengannya meskipun di mata orang lain, dia seorang jahat, karena kebaikan itu
memiliki banyak saudara. Dan jika kamu melihat seseorang berbuat keburukan yang
nyata, maka menghindarlah darinya meskipun di mata orang lain, dia adalah orang
baik, karena keburukan itu juga memiliki banyak saudara. Dan ketahuilah bahwa
kebaikan akan menunjukkan kepada saudara-saudaranya (jenis-jenisnya yang lain),
demikian pula dengan keburukan.”
Dia juga berwasiat kepada
anak-anaknya supaya berlaku lemah lembut, berbicara baik dan bermuka ramah. Dia
berkata, “Wahai anakku, sebagaimana tertulis di dalam hikmah, ‘Hendaklah kamu
berkata-kata baik dan berwajah ramah niscaya kamu akan lebih dicintai orang
ketimbang cinta mereka kepada orang yang selalu memberikan mereka hadiah.”
Bilamana dia melihat manusia
cenderung untuk berfoya-foya dan menilai baik kenikmatan duniawi, dia
mengingatkan mereka akan kondisi Rasulullah SAW yang penuh dengan kesahajaan
kehidupan dan kepapaan. Di antara contohnya adalah sebagaimana yang diceritakan
Muhammad bin al-Munkadir (seorang tabi’i dari penduduk Madinah, wafat pada
tahun 130 H), “Saat ‘Urwah bin az-Zubair menemuiku dan memegang tanganku, dia
berkata, ‘Wahai Abu Abdullah.’ Lalu aku menjawab, “Labbaik.” Kemudian dia
berkata, “Saat aku menemui Ummul mukminin ‘Aisyah RA, dia berkata, ‘Wahai
anakku.’ Lalu aku menjawab, ‘Labbaik.’ Beliau berkata lagi, ‘Demi Allah,
sesungguhnya kami dahulu pernah sampai selama empat puluh malam tidak
menyalakan api di rumah Rasulullah SAW, baik untuk lentera ataupun yang
lainnya.’ Lalu aku berkata, ‘Wahai Ummi, bagaimana kalian semua dapat hidup?’ Beliau
menjawab, ‘Dengan dua benda hitam (Aswadân); kurma dan air.’
Selanjutnya ‘Urwah bin az-Zubair
hidup hingga mencapai usia 71 tahun, yang diisinya dengan kebaikan, kebajikan
dan ketakwaan. Ketika ajal menjelang, dia sedang berpuasa, lalu keluarganya
ngotot memintanyanya agar berbuka saja namun dia menolak. Sungguh dia telah
menolak, karena dia berharap kalau kelak dia bisa berbuka dengan seteguk air
dari sungai Kautsar di dalam bejana emas dan di tangan bidadari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar