Atha Bin
Abi Rabah
“Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu
karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah
bin Kuhail.
Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul
Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah
bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka’bah dengan kepala
terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang.
Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat
jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua
anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan
kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar.
Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata, “Di mana sahabatmu?.” Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.
Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata, “Di mana sahabatmu?.” Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.
Para pengawal pribadinya ingin
mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana
berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu
sembari berkata,
“Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya.
“Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya.
Kemudian Khalifah berjalan menuju
orang tersebut, lalu dia mendapatinya masih melaksanakan shalat, khusyu’ di
dalam ruku’ dan sujudnya. Sedangkan orang-orang duduk di belakang, di sebelah
kanan dan kirinya, lalu Khalifah duduk di barisan paling belakang dari majlis
tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ.
Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu’minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya.
Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu’minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya.
Ternyata orang itu adalah seorang
tua yang berasal dari Habasyah, berkulit hitam, berambut keriting lebat dan
pesek hidungnya. Jika dia duduk tampak bagaikan gagak hitam.
Ketika orang itu telah selesai dari
shalatnya, dia menoleh ke arah dimana Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin Abdul
Malik, sang khalifah memberi salam dan orang itu membalasnya.
Saat itulah Khalifah menyongsongnya
dan bertanya tentang manasik haji, dari satu hal ke hal lainnya, dan orang itu
menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang tuntas dan memerincinya sehingga
tidak memberikan kesempatan lagi bagi si penanya untuk bertanya lagi. Dan dia
juga menisbahkan setiap perkataan yang diucapkannya kepada sabda Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Khalifah telah selesai
mengajukan pertanyaannya, beliau mengucapkan, “Mudah-mudahan Allah membalas
anda dengan kebaikan,” dan beliau berkata kepada kedua putranya, “Berdirilah,”
lalu keduanya berdiri… Kemudian mereka bertiga berlalu menuju tempat sa’i.
Ketika mereka bertiga di pertengahan
jalan menuju tempat sa’i, antara Shafa dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar
ada orang-orang yang berseru,
“Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.
“Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.
Maka salah satu dari kedua anak muda
itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata,
“Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu’minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?.”
“Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu’minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?.”
Maka Sulaiman berkata kepada
putranya,
“Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah ‘Atha’ bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini.” Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya,
“Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja.”
“Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah ‘Atha’ bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini.” Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya,
“Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja.”
Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik
kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena ‘Atha’ bin Abi
Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk
Mekkah. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan budak Habasyah ini, dengan
meletakkan kedua kakinya semenjak kecil di jalan ilmu. Dia membagi waktunya
menjadi tiga bagian: Satu bagian untuk majikan perempuannya, mengabdi kepadanya
dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna. Dan
satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah
dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah
‘Azza wa Jalla. Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak
berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang
masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni.
Dia berguru kepada Abu Hurairah,
‘Abdullah bin Umar, ‘Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair dan
sahabat-sahabat mulia lainnya radliyallâhu ‘anhum, sehingga hatinya dipenuhi
ilmu, fiqih dan riwayat dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap ‘Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap ‘Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Semenjak hari itu, ‘Atha’ bin Abi
Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya,
tempat dia berteduh dan sebagai sekolahan yang dia belajar di dalamnya, sebagai
tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan
keta’atan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, “Masjid Haram menjadi tempat
tinggal ‘Atha’ bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun.”
Seorang tabi’i yang mulia ‘Atha’ bin
Abi Rabah ini telah sampai kepada kedudukan yang sangat tinggi di dalam bidang
ilmu dan sampai kepada derajat yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa orang
semasanya.
Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah
bin Umar sedang menuju ke Mekkah untuk beribadah umrah. Lalu orang-orang
menemuinya untuk bertanya dan meminta fatwa, maka ‘Abdullah berkata,
“Sesungguhnya saya sangat heran kepada kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa
kamu mengerumuniku untuk menanyakan suatu permasalahan, sedangkan di
tengah-tengah kalian sudah ada ‘Atha’ bin Abi Rabah?!.”
‘Atha’ bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat:
‘Atha’ bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat:
Pertama, Bahwa dia menjadikan
dirinya sebagai pemimpin atas jiwanya. Dia tidak memberikan kesempatan
kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak berguna.
Kedua, Bahwa dia menjadikan dirinya
sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di dalam
perkataan dan perbuatan yang melebihi keperluan.
Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, “Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?.” Mereka berkata, “Baik.” Dia berkata, “Pada suatu hari, ‘Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, ‘Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia.” Lalu aku berkata, ‘Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?’ ‘Atha’ berkata, ‘Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta’ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma’isyahmu yang harus dibicarakan Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari “sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) ” (Al-Infithar, ayat: 10)
Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, “Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?.” Mereka berkata, “Baik.” Dia berkata, “Pada suatu hari, ‘Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, ‘Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia.” Lalu aku berkata, ‘Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?’ ‘Atha’ berkata, ‘Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta’ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma’isyahmu yang harus dibicarakan Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari “sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) ” (Al-Infithar, ayat: 10)
Dan bersama setiap kamu ada dua malaikat “Seorang duduk di sebelah kanan dan
yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf, ayat:
17-18).
Kemudian dia berkata, “Apakah salah seorang
di antara kita tidak malu, jika buku catatannya yang dia penuhi awal siangnya
dibuka di depannya, lalu dia menemukannya apa yang tertulis di dalamnya bukan
urusan agamanya dan bukan urusan dunianya.”
Allah Azza wa Jalla benar-benar
menjadikan ilmu ‘Atha’ bin Abi Rabah bermanfaat bagi banyak golongan manusia.
Di antara mereka ada orang-orang yang khusus ahli ilmu dan ada orang-orang
pekerja dan lain-lainnya.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bercerita
tentang dirinya. Dia berkata: Aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari
manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku…yaitu bahwa aku ingin
mencuckur rambutku supaya aku keluar dari ihram, lalu aku sewaktu hendak cukur,
aku berkata, “Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku?”
Maka tukang cukur itu
menjawab:Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda. Ibadah tidak
disyaratkan dengan bayaran, duduklah dan berikan sekedar kerelaan.” Maka aku
merasa malu dan aku duduk, namun aku duduk dalam keadaan berpaling dari arah
kiblat.
Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi.
Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi.
Kemudian aku menyilakannya supaya
dia mencukur kepalaku sebelah kiri, tetapi, dia berkata, “Berikan bagian kanan
kepala anda, lalu aku berputar. Dan mulailah dia mencukur kepalaku, sedangkan
aku terdiam sambil melihatnya dan merasa kagum kepadanya. Lalu dia berkata
kepadaku, “Kenapa anda diam? Bertakbirlah.” Lalu aku bertakbir, sehingga aku
berdiri untuk siap-siap pergi. Lalu dia berkata: Ke mana anda akan pergi? Maka
aku menjawab, “Aku akan menuju kendaraanku.” Lalu dia berkata, shalatlah dua
rakaat, kemudian pergilah kemana anda suka.” Lalu aku shalat dua rakaat dan aku
berkata di dalam hati, “Seorang tukang cukur tidak akan berbuat seperti ini,
kecuali dia adalah orang yang berilmu.” Maka aku berkata kepadanya: Dari mana
anda dapatkan manasik yang anda perintahkan kepadaku ini?
Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya.
Dunia telah berdatangan kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham.
Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya.
Dunia telah berdatangan kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham.
Para khalifah telah mengundangnya
supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka,
karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu
dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum
muslimin atau ada kebaikan untuk Islam. Di antaranya seperti yang diceritakan
oleh Utsman bin ‘Atha’ Al-Khurasani, dia berkata, “Aku di dalam suatu
perjalanan bersama ayahku, kami ingin berkunjung kepada Hisyam bin Abdul Malik.
Ketika kami telah berjalan mendekati Damaskus, tiba-tiba kami melihat orang tua
di atas Himar hitam, dengan mengenakan baju jelek dan kasar jahitannya. serta
memakai jubah lusuh dan berpeci. Tempat duduknya terbuat dari kayu, maka aku
tertawakan dia dan aku berkata kepada ayah, “Siapa ini?” Maka ayah berkata,
“Diam, ini adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz ‘Atha’ bin Abi Rabah.”
Ketika orang itu telah dekat dengan kami, ayah turun dari keledainya.
Orang itu juga turun dari himarnya,
lalu keduanya berpelukan dan saling menyapa. Kemudian keduanya kembali menaiki
kendaraannya, sehingga keduanya berhenti di pintu istana Hisyam bin Abdul
Malik. Ketika keduanya telah duduk dengan tenang, keduanya dipersilakan masuk.
Ketika ayah telah ke luar, aku berkata kepadanya, Ceritakanlah kepadaku;
tentang apa yang anda berdua lakukan, maka ayah berkata, “Ketika Hisyam
mengetahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, beliau segera
mempersilakannya masuk- dan demi Allah, aku tidak bisa masuk, kecuali karena
sebab dia, dan ketika Hisyam melihatnya, beliau berkata, Selamat datang,
selamat datang. Kemari, kemari, dan terus beliau berkata kepadanya, Kemari,
kemari, sehingga beliau mempersilakan duduk bersamanya di atas permadaninya,
dan menyentuhkan lututnya dengan lututnya.” Dan di antara orang-orang yang
duduk adalah orang-orang besar, dan tadinya mereka berbincang-bincang lalu
mereka terdiam. Kemudian Hisyam menghadap kepadanya dan berkata, “Apa keperluan
anda wahai Abu Muhammad?” ‘Atha’ berkata, “Wahai Amirul Mu’minin; Penduduk
Haramain (Makkah dan Madinah) adalah penduduk Allah dan tetangga Rasul-Nya,
berikanlah kepada mereka rizki-rizki dan pemberian-pemberian. Maka Hisyam
menjawab, “Baik, Wahai ajudan; Tulislah untuk penduduk Makkah dan Madinah
pemberian-pemberian dan rizki-rizki mereka untuk waktu satu tahun.
Kemudian Hisyam berkata, Apakah ada
keperluan lain wahai Abu Muhammad?.” ‘Atha’ berkata, “Ya wahai Amirul mu’minin,
penduduk Hijaz dan penduduk Najd adalah inti arab dan pemuka Islam, maka
berikanlah kepada mereka kelebihan sedekah mereka.” Maka Hisyam berkata, “Baik,
wahai ajudan, Tulislah, bahwa kelebihan sedekah mereka dikembalikan kepada
mereka.”
“Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?” Ya wahai Amirul mu’minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang.”
“Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?” Ya wahai Amirul mu’minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang.”
Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai
ajudan, tulislah, supaya dikirim rizki kepada mereka.” “Apakah ada keperluan
lain wahai Abu Muhammad?”
‘Atha’ berkata, “Ya, wahai Amirul mu’minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda.”
Maka Hisyam berkata, “Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu.”
“Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?
‘Atha’ berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu’minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri…dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda.”
Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu ‘Atha’ berdiri dan aku berdiri bersamnya.
‘Atha’ berkata, “Ya, wahai Amirul mu’minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda.”
Maka Hisyam berkata, “Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu.”
“Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?
‘Atha’ berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu’minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri…dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda.”
Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu ‘Atha’ berdiri dan aku berdiri bersamnya.
Dan ketika kami telah sampai ke
pintu, ternyata ada seseorang yang mengikuti ‘Atha’ dengan membawa kantong, dan
aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, dan orang itu berkata kepadanya,
“Sesungguhnya Amirul mu’minin mengirim ini kepada anda.” Maka ‘Atha’ berkata,
“Maaf aku tidak akan menerima ini.”
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ” (Asy-Syuara’, ayat:109)
Demi Allah, Sesungguhnya ‘Atha’ menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun.
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ” (Asy-Syuara’, ayat:109)
Demi Allah, Sesungguhnya ‘Atha’ menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun.
Selanjutnya ‘Atha’ bin Abi Rabah
dikaruniai umur panjang hingga seratus tahun. Umur itu dia penuhi dengan ilmu,
amal, kebaikan dan takwa.
Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah.
Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah.
Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya.
Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya.
Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah.
Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah.
Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya.
Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya.