KOTAK INFAQ

KOTAK INFAQ

Rabu, 23 April 2014

Tata Cara Mengurus Jenazah 
بسم الله الرحمن الرحيم
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
“Mereka adalah orang- orang yang ketika musibah menimpa mereka, mereka berkata: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun = Kita ini adalah milik Allah, dan kita semuanya  akan kembali kepada Nya” (Surat Al- Baqoroh, ayat: 156 ..
عن صهيب بن سنان رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : عَجَبًا لأمرٍ المُؤْمِنِيْنَ  إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ .  وَلَيْسَ ذَالِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ  . إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ . رواه مسلم
Hadist dari sohabat Shuhaib bin Sinan RA: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda: “Menakjubkan  urusan orang- orang beriman itu. Sesungguhnya segala urusannya semuanya baik. Dan demikian itu tak akan terjadi pada seseorang kecuali pada orang beriman. Apabila ia memperoleh kebaikan, iapun  bersyukur, maka syukurnya itu baik untuk dia. Dan apabila ia tertimpa musibah, iapun bershobar, naka shobarnya itu baik baginya”. Hadist riwayat Muslim.
Penting:
Nomor- nomor pada akhir kalimat adalah nomor hadist yang terdapat dalam kitab BULUGHUL MAROM, karya Syekh Ibnu Hajar Al- Asqolany.

I . KEWAJIBAN BAGI PENDERITA SAKIT.

a.      Bershobar…….Sesuai ayat dan hadist diatas.
b.     Berikhtiyar dan berobat tanpa kenal putus asa….Q.S. Yusuf 87).
c.     Terus berdoa’ untuk kesembuhannya, dan tawakkal kepada Allah…QS.A- Mu’min 44-45)
d.     Berkhusnuddhon kepada Allah.
e.      Berwashiyat….986).

II. KEWAJIBAN BAGI KAUM MUSLIMIN/ TETANGGA/KERABAT

a.      MENJENGUKNYA
  • Menasehati dengan kesabaran…..Surat Al- Ashr)
  • Mendo’akan agar lekas sembuh….8)
Diantara do’a ma’tsurot yang dicontohkan Nabi adalah:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ  مُذْهِبَ اْلبَأْسَ  إِشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لَا شَافِيَ إِلَّا َنْتَ شِفّاءً لَا يُغَادِرُ سَقَماً -  رواه البخاري
“Ya Allah, Tuhan nya manusia, Penyembuh segala penyakit Sembuhkanlah dia. Engkaulah Maha Penyembuh. Suatu kesembuhan yang tak terulang sakit lagi”.
Hadist riwayat Bukhori dari Anas bin Malik.
  • Membantu meringankan beaya pengobatannya, atau memberikan makanan yang dapat mendorong kesembuhannya.
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Bertolong- tolnganlah kalian dalam kebaikan dan taqwa dan jangan kalian bertolong- tolngan dalam dosa dan saling permusuhan”.(QS. Al- Ma’idah 2)
b.     MENUNTUN (MENTALQINNYA (…10)
  • Dengan kalimah Thoyyibah, Dzikir dan Istighfar.
  • Menuntun saat- saat Sakarotul Maut dengan kalimat: Laa Ilaaha Illallooh, terus ber- ulang- ulang…559 + 520)
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺴﻌﻴﺪ ﻭﺃﺑﻲ ﻫﺭﻴﺭﺓ ﺮﺿﻰ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻻ ﻗﺎﻞ ﺮﺴﻭﻝ ﺍﻟﻟﻪ ﺼﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ : ﻟَﻗّْﻧْﻮْﺍ ﻤَﻮْﺘَﺎﻜُﻡْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻟَّﻪ . ﺮﻮﺍﻩ ﻤﺴﻟﻡ ﻮﺍﻷﺮﺑﻌﺔ
III. TATA CARA MENGURUS JANAZAH.
1. SESAAT SETELAH MENINGGAL.
  • Menutupkan kelopak matanya….560).
  • Mengikat rahangnya dengan tali yang lembut.
  • Menutupinya dengan kain dari kepala sampai telapak kakinya….562)
  • Menempatkannya ditempat yang layak dan jauh dari gangguan binatang.
  • Memohonkan ampunan.
2. MEMANDIKAN.

A.   PERSIAPAN MEMANDIKAN.
  • Cari tempat yang tertutup.
  • Siapkan air yang SUCI MENSUCIKAN + Air Sabun + Air yang telah dicampur KAPUR BARUS….565 + 567)
  • Sediakan SARUNG TANGAN KARET, sesuai jumlah yang memandikan. (Biasanya tiga orang). Ini adalah demi alas an medis.
  • Siapkan Gulungan KAIN KASA untuk menyumpal duburnya sehingga kotoran tak keluar lagi saat diangkat.
B.    BERSAMAAN DENGAN ITU KAIN KAFAN DISIAPKAN,
 agar mayit tak menunggu  setelah dimandikan.
Yang meliputi:
  • Sehelai tikar.
  • Kain Kafan, dengan ukuran dan jumlah yang akan diterangkan kemudian…567)
  • Gunting.
C.   CARA MEMANDIKAN JANAZAH.
a.      Gunakan air yang suci mensucikan/ air murni.
  • Mulailah dari Anggota Wudhu….567)
  • Mulailah dari anggota badan yang kanan….567)
  • Meratakan siraman keseluruh tubuh.
  • Para sahabat ada yang menjadikan rambut janazah wanita menjadi tiga bagian dan DIKEPANG. Setelah itu diurai kembali (Fiqhus Sunnah I/266).
b.     Gunakan Air Sabun.
  • Bersihkan Qubul dan Duburnya.
  • Ratakan keseluruh tubuh.
  • Jangan lupa gosok giginya.
  • Jangan lupa bersihkan sela- sela kukunya dengan plastic yang runcing atau tangkai daun agar tak melukai mayat.
  • Jumhur ulama’ tidak menganjurkan kuku yang panjang dipotong. (Fiqhus Sunnah I/266).
c.     Gunakan kembali Air Murni untuk membilas bekas air sabun.
d.     Tutup Permandian dengan menggunakan AIR KAPUR BARUS.,,,
e.      Badan Mayit dikeringkan dengan handuk yang lembut…565+599).
f.       Tutup dengan kain….
@ SARAN: Sebaiknya mayat ditutup dengan kain agak tipis dan mengguyurkan airnya DARI ATAS PERMUKAAN KAIN. Maka air akan menembus pori- pori kain penutup ketubuh mayat. Tangan yang menggunakan sarung tangan karet menggosok seluruh tubuh mayat USAHAKAN TANPA MELIHAT AURAT MAYATNYA.
3. MENGKAFANI JANAZAH..567 + 568 + 569 + 570 + 571)
  • Panjang kain kafan adalah seukuran tinggi mayat + 60 cm.
  • Untuk mayat laki- laki sebanyak 3 LAPIS….(568)
  • Untuk mayat perempuan 3 LAPIS + Baju kurung + Sarung + Celana dalam + kerudung.
  • Kain kafan jangan menggunakan kain yang mahal/ berlebihan…573).
A.   JANAZAH LELAKI.
a.      Gelar sehelai tikar.
b.     Letakkan lima utas tali,
  • Tiga utas tali panjang untuk daerah SIKUT, PINGGANG dan LUTUT.
  • Dua utas tali pendek untuk mengikat UJUNG KEPALA/ POCONG dan UJUNG KAKI.
c.     Gelar kain I sedikit serong kekanan untuk KEPALANYA.
d.     Gelar kain II sedikit serong kekiri
e.      Hamparkan kain ke III diatas kedua lembar kain yang sebelumnya. Bila mayat kecil, lapisan bisa ditumpuk saja.
f.       Taruhlah hamparan kapas, kapur barus yg sudah sihaluskan/serbuk kayu cendana dan wewangian yang lain diatasnya.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQFruuMerzplKN8GSYlGpYpLwJYcuyk7rWUi5GtwmOsfYCG5AGLWARLpjoWxgQyny54d6Ewl2QdYGR9HkBXb1lSyrFR8h9vUbDr6-ZhUHBoRedkN5n16MqWJff0K6XkbxG8Lg2i_K0lKg/s1600/TATA+CARA+MENGURUS+JANAZAH1.jpg
A.   JENAZAH PEREMPUAN.
a. Yaitu tiga lapis kain kafan seperti untuk lelaki.
b. + Baju kurung dengan bagian pinggir kanan kiri tak berjahit.
Dihamparkan pada daerah searah punggung, dan kemudian
dibuka kearah atas. Lubang kepala searah kepala.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgt-SyifDckG1bMjduFwDZG6OmBSouXFHf2NBlKegGofu6goM4vtUDMjMupbbEQ3Z0Ql8dpRr3fzDo7Htz3hk6brFVI6hUul_r152sQdOcIh0tOt6-bN6B1RKGZSjNbpj8PbJ0F7W7ZjuE/s1600/TATA+CARA+MENGURUS+JANAZAH2.jpg
  1. + Satu lembar untuk sarung. Dihamparkan untuk daerah PINGGANG kebawah.
  2. + Satu lembar untuk celana dalamnya yang sudah dibuka.
  3. Letakkan kerudung searah kepala mayat.
  4. Taruhlah hamparan kapas, serbuk kayu cendana dan wewangian yang lain diatasnya.
A.   CARA MENGKAFANI JANAZAH.
a.      Letakkan Janazah yang sudah dimandikan diatas hamparan kafan yang sudah dipersiapkan.
b.     Letakkan hamparan kapas diatas tubuh Janazah. Beri wewangian secukupnya.
c.     Pakaikan celana dalamnya (wanita)
d.     Balutkan sarungnya (wanita) Tutupkan baju kurungnya yang bagian depan. (wanita)
e.      Bungkuslah mayat dengan kain kafan ke 3.
f.       Bungkuslah dengan kain kafan ke 2,
g.     Kain kafan ke 1 di libatkan pada bagian atas kafan 2-3 yang sudah terpasang sebelumnya.
h.     Ikatlah Janazah dengan 5 (lima) tali yang sudah disediakan


PENTING!!!!

Bila setelah dikafani keluar kotoran/ darah lagi, maka sudah dima’fu, tak usah disucikan lagi.(Fiqhus Sunnah I/ 266).

4.SHOLAT JANAZAH.
  • Syarat Sah Sholat Janazah sama dengan Syarat Sah Sholat lainnya, seperti harus suci hadast besar, hadast kecil dan suci dari najis, baik badan pakaian ataupun tempatnya.
  • Kepala Janazah di arah UTARA (Untuk daerah Indonesia). Bila dapat dimiringkan menghadap Qiblat, tentu lebih baik.
  • Untuk Janazah laki-laki, Imam Sholat searah KEPALA atau dadanya.(Subulus Salam II/109. Hadist no 41).
  • Untuk Janazah perempuan Imam sholat berada searah PERUT nya…582  + Subulus Salam II/ 102).
  • Makmum dibelakang Imam, sebaiknya membentuk 3 SHOF atau lebih….581). Bila peserta sholat hanya 5, maka satu orang jadi imam, empat orang jadi DUA SHOF. Tiap shof dua orang. ( Fiqhus Sunnah I/276).
f. KAIFIYAT SHOLAT JANAZAH…580)
1. Takbir pertama, disusul baca FATIKHAH…587).
2. Takbir kedua, disusul membaca SHOLAWAT.
3. Takbir ketiga, disusul membaca:
“ALLOOHUMMAGHFIRLAHUU… DST”…588 + 589 + 590).
Atau do’a- do’a yang lain. Sebaiknya do’a- do’a yang pernah
dicontohkan Nabi.
4. Takbir ke- empat disusul DO’A. Diantaranya:
اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّاَ بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ
Atau:
رَبَّنَا أتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَاَب النَّارِ
5. SALAM.
Yakni:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
# CATATAN: Untuk janazah anak kecil KARENA BELUM PUNYA DOSA, kalimat Alloohummaghfirlahu…dst diganti dengan kalimat (Lihat Al- Adzkar Lin Nawawi):
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَهُمَا فَرَطاً وَسَلَفًا وَذُخْرًا وَثَقِلْ بِهِ مَوَازِنَهُمَا وَأَفْرِغْ الصَّبْرَ عَلَى قُلُوْبِهِمَا وَلَا تَفْتِنَّهُمَا بَعْدَهُ وَلَا تَحْرِمْهُمَا أَجْرَهُ
Yang artinya: “Ya Allah jadikanlah mayat anak ini bagi kedua orang tuanya sebagai perintis, jadikanlah ia sebagai simpanan, dan jadikanlah ia sebagai tabungan bagi kedua orang tuanya. Beratkanlah timbangan pahala kedua orang tuanya berkat anak itu, limpahkanlah kesabaran kedalam hati kedua orang tuanya dan janganlah Engkau menguji keduanya dengan fitnah sesudahnya serta janganlah Engkau menghalangi pahala kedua mereka”.
Atau boleh disngkat:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَهُمَا فَرَطاً وَسَلَفًا وَذُخْرًا لِأَبَوَيْه
5. Menguburkan janazah.
A. Siapkan liang lahad…601 + Subulus Salam II/110)

# PENTING !!!

Sebelum digali, diukur dulu ARAH QIBLATNYAmemakai kompas . Untuk Jawa Barat +/- 25 derajat KE UTARA dari TITIK BARAT TEPAT.
(Jawa Tengah +/- 24,5 derajat, Jawa Timur +/- 24 derajat. Lihat gambar).
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1zo8xHxQ8PRXrB602h6rVGsIIpbjBX_q3MHkLShm_OqgnlnWOm806c-8d4m6guxEiMsrSyOYKjmq3V2dZz0nox4l6aMTQ8t9StjoAhJgoZUu72QGca3IV8uWXqIIZPNl9JK9NlDNBbaE/s1600/TATA+CARA+MENGURUS+JANAZAH3.jpg
Sesuai Sabda Rasulullah:
الكعبة قبلتكم أحياء وأمواتا
- Dalamnya kurang lebih 1,5 meter.
- Panjang = Panjang mayat + 30 cm.
- Lebar = kurang lebih 80 cm ~ 1 meter.
- Pada bagian hadapan mayat digali lagi +/- 50 cm menjorok
kedepan. (Lihat Gambar
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPWajEPDxbKcOqWjuFqjhJpmpfDCkT_JL48oJTv6zI7tUUJIB2nAPemropk_eAhV24GtESbKuQQCUZPsFug1J4jk1W3FW6NuSP0ZMQh-ap5KIzyKPjyi35Reb9lWooE1PKBt0gfWc02Dk/s1600/TATA+CARA+MENGURUS+JANAZAH4+%255B%255D.jpg
- Siapkan bilah bambu atau papan kayu.
- Siapkan BANTALAN TANAH  sebesar +/- satu kepal, masing-
masing untuk kepala pundak, dsb, agar Janazah bisa miring
dengan wajah menghadap Qiblat.
B. CARA MEMASUKKAN JANAZAH KE LIANG LAHAD.
  • Janazah di luncurkan dari arah SELATAN/ kepala dulu – ( Untuk daerah Indonesia). …597 + Suulus Salam II/ 109 hadist no 41). KEPALA janazah di UTARA.
  • Direngkuh oleh para petugas yang sudah siap didalam liang dengan mengucapkan: “Bismillah Wa Alaa Millati Rasuulillaah”…597).
( بِسْمِ الَله ِوَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ )
  • Letakkan Janazah secara miring, dengan wajah menghadap Qiblat.
  • Tali Kepala dan kaki dibuka agar PIPI dan UJUNG KAKI menempel ketanah. ويحل أربطة الكفن ( فقه السنة 1\290  Tapi tidak harus.
  • Ganjal badan dan kepalanya dengan Ganjal tanah yang sudah disiapkan.
  • Tutup dengan bilah bambu atau kayu.
  • Ditimbun dengan tanah/ pasir yang ada. Padatkan
  • Tinggikan urugan sedikit, KIRA- KIRA SEJENGKAL…602) dan ditandai dengan batu (nisan).
  • Menganjurkan kepada yang hadir agar memintakan keteguhan hati pada mayat tatkala menghadapi Malaikat Munkar dan Nakir, seraya memohonkan ampunan kepada Allah untuknya, sebagaimana Sabda Nabi:
إِسْتَغْفِرُوْا لأَخِيْكُمْ وَاسْئَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلأَنَ يُسْئَلُ رواه ابو داود وصححه الحاكم عن عثمان بن عفان
Artinya: “Mohonkanlah ampun bagi si mayat dan mintalah dia agar teguh hati karena sekarang ia sedang ditanyai”. Hadist riwayat Abu Dawud dan dinilai shohih oleh Imam Al- Hakim….605 + 606)
  • Menaburkan tanah 3 (tiga) kali diatas kuburan, seraya mengucapkan: “ Minhaa kholaqnaakum – Wa fiiha Nu’iidukum – Wa minhaa nukhrijukum taarotan ukhroo”….604 + (Q.S. Toha 55)
  • Memasangkan batu nisannya.
Referensi:
  • Ibnu Hajar Al- Asqolany:        Fatkhul Bari
  • Bulughul Marom.
  • An- Nawawi Ad- Dimasyqy : Syarh Muslim
  • Al- Adzkaar.
  • Riyadhus Sholihin.
  • As- Shon’ani   : Subulus Salam.
  • Sayid Sabiq     : Fiqhus Sunnah…. Dll.


Senin, 10 Februari 2014

Atha Bin Abi Rabah

 “Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah bin Kuhail.
Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka’bah dengan kepala terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang. Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar.
Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata, “Di mana sahabatmu?.” Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.
Para pengawal pribadinya ingin mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu sembari berkata,
“Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya.
Kemudian Khalifah berjalan menuju orang tersebut, lalu dia mendapatinya masih melaksanakan shalat, khusyu’ di dalam ruku’ dan sujudnya. Sedangkan orang-orang duduk di belakang, di sebelah kanan dan kirinya, lalu Khalifah duduk di barisan paling belakang dari majlis tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ.
Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu’minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya.
Ternyata orang itu adalah seorang tua yang berasal dari Habasyah, berkulit hitam, berambut keriting lebat dan pesek hidungnya. Jika dia duduk tampak bagaikan gagak hitam.
Ketika orang itu telah selesai dari shalatnya, dia menoleh ke arah dimana Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah memberi salam dan orang itu membalasnya.
Saat itulah Khalifah menyongsongnya dan bertanya tentang manasik haji, dari satu hal ke hal lainnya, dan orang itu menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang tuntas dan memerincinya sehingga tidak memberikan kesempatan lagi bagi si penanya untuk bertanya lagi. Dan dia juga menisbahkan setiap perkataan yang diucapkannya kepada sabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Khalifah telah selesai mengajukan pertanyaannya, beliau mengucapkan, “Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan,” dan beliau berkata kepada kedua putranya, “Berdirilah,” lalu keduanya berdiri… Kemudian mereka bertiga berlalu menuju tempat sa’i.
Ketika mereka bertiga di pertengahan jalan menuju tempat sa’i, antara Shafa dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar ada orang-orang yang berseru,
“Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.
Maka salah satu dari kedua anak muda itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata,
“Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu’minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?.”
Maka Sulaiman berkata kepada putranya,
“Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah ‘Atha’ bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjid Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini.” Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya,
“Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja.”
Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena ‘Atha’ bin Abi Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk Mekkah. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan budak Habasyah ini, dengan meletakkan kedua kakinya semenjak kecil di jalan ilmu. Dia membagi waktunya menjadi tiga bagian: Satu bagian untuk majikan perempuannya, mengabdi kepadanya dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna. Dan satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni.
Dia berguru kepada Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Umar, ‘Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair dan sahabat-sahabat mulia lainnya radliyallâhu ‘anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu, fiqih dan riwayat dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap ‘Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Semenjak hari itu, ‘Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya, tempat dia berteduh dan sebagai sekolahan yang dia belajar di dalamnya, sebagai tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan keta’atan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, “Masjid Haram menjadi tempat tinggal ‘Atha’ bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun.”
Seorang tabi’i yang mulia ‘Atha’ bin Abi Rabah ini telah sampai kepada kedudukan yang sangat tinggi di dalam bidang ilmu dan sampai kepada derajat yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa orang semasanya.
Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Umar sedang menuju ke Mekkah untuk beribadah umrah. Lalu orang-orang menemuinya untuk bertanya dan meminta fatwa, maka ‘Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya sangat heran kepada kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa kamu mengerumuniku untuk menanyakan suatu permasalahan, sedangkan di tengah-tengah kalian sudah ada ‘Atha’ bin Abi Rabah?!.”
‘Atha’ bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat:
Pertama, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas jiwanya. Dia tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak berguna.
Kedua, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di dalam perkataan dan perbuatan yang melebihi keperluan.
Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, “Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?.” Mereka berkata, “Baik.” 
Dia berkata, “Pada suatu hari, ‘Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, ‘Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia.” Lalu aku berkata, ‘Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?’ ‘Atha’ berkata, ‘Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta’ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma’isyahmu yang harus dibicarakan Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari “sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) ” (Al-Infithar, ayat: 10)
Dan bersama setiap kamu ada dua malaikat “Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf, ayat: 17-18).
Kemudian dia berkata, “Apakah salah seorang di antara kita tidak malu, jika buku catatannya yang dia penuhi awal siangnya dibuka di depannya, lalu dia menemukannya apa yang tertulis di dalamnya bukan urusan agamanya dan bukan urusan dunianya.”
Allah Azza wa Jalla benar-benar menjadikan ilmu ‘Atha’ bin Abi Rabah bermanfaat bagi banyak golongan manusia. Di antara mereka ada orang-orang yang khusus ahli ilmu dan ada orang-orang pekerja dan lain-lainnya.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bercerita tentang dirinya. Dia berkata: Aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku…yaitu bahwa aku ingin mencuckur rambutku supaya aku keluar dari ihram, lalu aku sewaktu hendak cukur, aku berkata, “Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku?”
Maka tukang cukur itu menjawab:Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda. Ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran, duduklah dan berikan sekedar kerelaan.” Maka aku merasa malu dan aku duduk, namun aku duduk dalam keadaan berpaling dari arah kiblat.
Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi.
Kemudian aku menyilakannya supaya dia mencukur kepalaku sebelah kiri, tetapi, dia berkata, “Berikan bagian kanan kepala anda, lalu aku berputar. Dan mulailah dia mencukur kepalaku, sedangkan aku terdiam sambil melihatnya dan merasa kagum kepadanya. Lalu dia berkata kepadaku, “Kenapa anda diam? Bertakbirlah.” Lalu aku bertakbir, sehingga aku berdiri untuk siap-siap pergi. Lalu dia berkata: Ke mana anda akan pergi? Maka aku menjawab, “Aku akan menuju kendaraanku.” Lalu dia berkata, shalatlah dua rakaat, kemudian pergilah kemana anda suka.” Lalu aku shalat dua rakaat dan aku berkata di dalam hati, “Seorang tukang cukur tidak akan berbuat seperti ini, kecuali dia adalah orang yang berilmu.” Maka aku berkata kepadanya: Dari mana anda dapatkan manasik yang anda perintahkan kepadaku ini?
Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya.
Dunia telah berdatangan kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham.
Para khalifah telah mengundangnya supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka, karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum muslimin atau ada kebaikan untuk Islam. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Utsman bin ‘Atha’ Al-Khurasani, dia berkata, “Aku di dalam suatu perjalanan bersama ayahku, kami ingin berkunjung kepada Hisyam bin Abdul Malik. Ketika kami telah berjalan mendekati Damaskus, tiba-tiba kami melihat orang tua di atas Himar hitam, dengan mengenakan baju jelek dan kasar jahitannya. serta memakai jubah lusuh dan berpeci. Tempat duduknya terbuat dari kayu, maka aku tertawakan dia dan aku berkata kepada ayah, “Siapa ini?” Maka ayah berkata, “Diam, ini adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz ‘Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika orang itu telah dekat dengan kami, ayah turun dari keledainya.
Orang itu juga turun dari himarnya, lalu keduanya berpelukan dan saling menyapa. Kemudian keduanya kembali menaiki kendaraannya, sehingga keduanya berhenti di pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Ketika keduanya telah duduk dengan tenang, keduanya dipersilakan masuk. Ketika ayah telah ke luar, aku berkata kepadanya, Ceritakanlah kepadaku; tentang apa yang anda berdua lakukan, maka ayah berkata, “Ketika Hisyam mengetahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, beliau segera mempersilakannya masuk- dan demi Allah, aku tidak bisa masuk, kecuali karena sebab dia, dan ketika Hisyam melihatnya, beliau berkata, Selamat datang, selamat datang. Kemari, kemari, dan terus beliau berkata kepadanya, Kemari, kemari, sehingga beliau mempersilakan duduk bersamanya di atas permadaninya, dan menyentuhkan lututnya dengan lututnya.” Dan di antara orang-orang yang duduk adalah orang-orang besar, dan tadinya mereka berbincang-bincang lalu mereka terdiam. Kemudian Hisyam menghadap kepadanya dan berkata, “Apa keperluan anda wahai Abu Muhammad?” ‘Atha’ berkata, “Wahai Amirul Mu’minin; Penduduk Haramain (Makkah dan Madinah) adalah penduduk Allah dan tetangga Rasul-Nya, berikanlah kepada mereka rizki-rizki dan pemberian-pemberian. Maka Hisyam menjawab, “Baik, Wahai ajudan; Tulislah untuk penduduk Makkah dan Madinah pemberian-pemberian dan rizki-rizki mereka untuk waktu satu tahun.
Kemudian Hisyam berkata, Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?.” ‘Atha’ berkata, “Ya wahai Amirul mu’minin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd adalah inti arab dan pemuka Islam, maka berikanlah kepada mereka kelebihan sedekah mereka.” Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, Tulislah, bahwa kelebihan sedekah mereka dikembalikan kepada mereka.”
“Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?” Ya wahai Amirul mu’minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang.”
Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, tulislah, supaya dikirim rizki kepada mereka.” “Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
‘Atha’ berkata, “Ya, wahai Amirul mu’minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda.”
Maka Hisyam berkata, “Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu.”
“Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?
‘Atha’ berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu’minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri…dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda.”
Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu ‘Atha’ berdiri dan aku berdiri bersamnya.
Dan ketika kami telah sampai ke pintu, ternyata ada seseorang yang mengikuti ‘Atha’ dengan membawa kantong, dan aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, dan orang itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya Amirul mu’minin mengirim ini kepada anda.” Maka ‘Atha’ berkata, “Maaf aku tidak akan menerima ini.”
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ” (Asy-Syuara’, ayat:109)
Demi Allah, Sesungguhnya ‘Atha’ menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun.

Selanjutnya ‘Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga seratus tahun. Umur itu dia penuhi dengan ilmu, amal, kebaikan dan takwa.
Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah.
Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah.
Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya.
Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya.

Jumat, 07 Februari 2014

‘Urwah Bin Az-Zubair

 (Kakinya Dibuntung Dengan Gergaji, Karena Menolak Khamar Dan Bius)
“Barangsiapa ingin melihat seseorang dari ahli Surga, hendaklah ia melihat ‘Urwah bin az-Zubair” (Abdul Malik bin Marwan)
Baru saja matahari sore itu memancarkan sinarnya di Baitul Haram dan mempersilahkan jiwa-jiwa yang bening untuk mengunjungi buminya yang suci tatkala sisa-sisa para sahabat Rasulullah SAW dan para pembesar tabi’in mulai berthawaf di sekeliling Ka’bah, mengharumkan suasana dengan pekikan tahlil dan takbir dan memenuhi hamparan dengan do’a-do’a kebaikan.

Dan tatkala orang-orang membuat lingkaran per-kelompok di sekitar Ka’bah nan agung, yang berdiri kokoh di tengah Baitul Haram dalam kondisi yang berwibawa dan agung. Mereka memenuhi pandangan dengan keindahannya yang memikat, dan memoderator pembicaraan-pembicaraan di antara mereka tanpa keisengan dan perkataan dosa.
Di dekat Rukun Yamani, duduklah empat orang pemuda yang masih remaja dan terhormat nasabnya serta berbaju harum seakan-akan mereka bagaikan merpati-merpati masjid, berbaju mengkilat dan membuat hati jinak karenanya.
Mereka itu adalah ‘Abdullah bin az-Zubair, saudaranya; Mus’ab bin az-Zubair, saudara mereka berdua; Urwah bin az-Zubair dan Abdul Malik bin Marwan.
Terjadi perbincangan ringan dan sejuk di antara anak-anak muda ini, lalu tidak lama kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Hendaklah masing-masing dari kita memohon kepada Allah apa yang hendak dia cita-citakan.”
Maka khayalan mereka terbang ke alam ghaib nan luas, angan-angan mereka berputar-putar di taman-taman harapan nan hijau, kemudian Abdullah bin az-Zubair berkata,“Cita-citaku, aku ingin menguasai Hijaz dan memegang khilafah.” Saudaranya, Mus’ab berkata, “Kalau aku, aku ingin menguasai dua Irak (Kufah dan Bashrah) sehingga tidak ada orang yang menyaingiku.” Sedangkan Abdul Malik bin Marwan berkata, “Jika anda berdua hanya puas dengan hal itu saja, maka aku tidak akan puas kecuali menguasai dunia semuanya dan aku ingin memegang kekhilifahan setelah Muawiyah bin Abi Sufyan.”Sementara ‘Urwah bin az-Zubair terdiam dan tidak berbicara satu kalimat pun, maka saudara-saudaranya tersebut menoleh ke arahnya dan berkata, “Apa yang kamu cita-citakan wahai Urwah?” Dia menjawab, “Mudah-mudahan Allah memberkati kalian semua terhadap apa yang kalian cita-citakan dalam urusan dunia kalian. Sedangkan aku hanya bercita-cita ingin menjadi seorang ‘alim yang ‘Amil (Mengamalkan ilmunya), orang-orang belajar Kitab Rabb, Sunnah Nabi dan hukum-hukum agama mereka kepadaku dan aku mendapatkan keberuntungan di akhirat dengan ridla Allah dan mendapatkan surga-Nya.”
Kemudian waktu pun berjalan begitu cepat, sehingga memang kemudian Abdullah bin az-Zubair dibai’at menjadi Khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah (Khalifah ke dua dari khilafah Bani Umayyah), dan dia pun menguasai kawasan Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Iraq. Kemudian dia dibunuh di sisi Ka’bah tidak jauh dari tempat dimana dia pernah bercita-cita tentang hal itu.
Dan ternyata Mus’ab bin Az-Zubair pun menguasai pemerintahan Iraq sepeninggal saudaranya, ‘Abdullah namun dia juga dibunuh di dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut.
Demikian pula, Abdul Malik bin Marwan memangku jabatan Khalifah setelah ayahnya wafat, dan di tangannya kaum Muslim bersatu setelah pembunuhan terhadap ‘Abdullah bin az-Zubair dan saudaranya, Mus’ab di tangan pasukan-pasukannya. Kemudian dia menjadi penguasa terbesar di dunia pada zamannya. Lalu bagaimana dengan ‘Urwah bin Az-Zubair? Mari kita mulai kisahnya dari pertama.
‘Urwah bin az-Zubair dilahirkan setahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Umar al-Faruq, di dalam keluarga paling terpandang dan terhormat kedudukannya dari sekian banyak keluarga-keluarga kaum muslimin. Ayahnya adalah az-Zubair bin al-’Awwam, sahabat dekat dan pendukung Rasulullah SAW, orang pertama yang menghunus pedang di dalam Islam dan salah satu dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga. Ibunya bernama Asma` binti Abu Bakar yang bergelar berjuluk “Dzatun Nithaqain” (Pemilik dua ikat pinggang. Hal ini karena dia merobek ikat pinggangnya menjadi dua pada saat hijrah, salah satunya dia gunakan untuk mengikat bekal Rasulullah SAW dan yang satu lagi dia gunakan untuk mengikat bekal makanannya).
Kakeknya pancar (dari pihak) ibunya tidak lain adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah Rasulullah SAW dan sahabatnya ketika berada di dalam goa (Tsur). Neneknya pancar (dari pihak) ayahnya bernama Shafiyyah binti Abdul Muththalib bibi Rasulullah SAW sedangkan bibinya adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah RA. Pada saat jenazah ‘Aisyah dikubur, ‘Urwah sendiri yang turun ke kuburnya dan meratakan liang lahadnya dengan kedua tangannya.
Apakah anda mengira bahwa setelah kedudukan ini, ada kedudukan lain dan bahwa di atas kemuliaan ini, ada kemuliaan lain selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam? Untuk merealisasikan cita-cita yang telah diharapkannya perkenaan Allah atasnya saat di sisi Ka’bah itu, dia tekun di dalam mencari ilmu dan memfokuskan diri untuknya serta menggunakan kesempatan untuk menimba ilmu dari sisa-sisa para sahabat Rasulullah SAW yang masih hidup.
Dia rajin mendatangi rumah-rumah mereka, shalat di belakang mereka dan mengikuti pengajian-pengajian mereka, sehingga dia berhasil mentrasfer riwayat dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan an-Nu’man bin Basyir. Dia banyak sekali mentransfer riwayat dari bibinya, ‘Aisyah Ummul Mukminin sehingga dia menjadi salah satu dari tujuh Ahli fiqih Madinah (al-Fuqahâ` as-Sab’ah) yang menjadi rujukan kaum muslimin di dalam mempelajari agama mereka.
Para pejabat yang shaleh meminta bantuan mereka di dalam mengemban tugas yang dilimpahkan Allah kepada mereka terhadap urusan umat dan negara.
Di antara contohnya adalah tindakan Umar bin Abdul Aziz ketika datang ke Madinah sebagai gubernurnya atas mandat dari al-Walid bin Abdul Malik. Orang-orang datang kepadanya untuk menyampaikan salam. Ketika selesai melaksanakan shalat dhuhur, dia memanggil sepuluh Ahli fiqih Madinah yang diketuai oleh ‘Urwah bin Az-Zubair. Ketika mereka sudah berada di sisinya, dia menyambut mereka dengan sambutan hangat dan memuliakan tempat duduk mereka. Kemudian dia memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas bagi-Nya, lalu berkata,
“Sesungguhnya aku memanggil kalian semua untuk sesuatu yang kiranya kalian semua diganjar pahala karenanya dan menjadi pendukung-pendukungku dalam berjalan di atas kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan sesuatu tanpa pendapat kalian semua, atau pendapat orang yang hadir dari kalian-kalian semua. Jika kalian semua melihat seseorang menyakit orang lain, atau mendengar suatu kedzaliman dilakukan oleh pegawaiku, maka demi Allah, aku meminta agar kalian melaporkannya kepadaku.”
Maka ‘Urwah bin az-Zubair mendo’akan kebaikan baginyanya dan memohon kepada Allah agar menganugerahinya ketepatan (dalam bertindak dan berbicara) dan mendapatkan petunjuk.
‘Urwah bin az-Zubair benar-benar menyatukan ilmu dan amal. Dia banyak berpuasa di kala hari demikian teriknya dan banyak shalat malam di kala malam gelap gulit, selalu membasahkan lisannya dengan dzikir kepada Allah Ta’ala.
Selain itu, dia selalu menyertai Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan tekun membacanya. Setiap harinya, dia membaca seperempat al-Qur’an dengan melihat ke Mushafnya. Kemudian dia membacanya di dalam shalat malam hari dengan hafalan. Dia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu semenjak menginjak remaja hingga wafatnya, kecuali satu kali disebabkan adanya musibah yang menimpanya. Mengenai apa musibah itu, akan dihadirkan kepada pembaca nanti. Sungguh ‘Urwah bin az-Zubair mendapatkan kedamaian hati, kesejukan mata dan surga dunia di dalam shalatnya, karenanya, dia melakukannya dengan sebaik-baiknya, melengkapi syarat rukunnya dengan sempurna dan berlama-lama di dalamnya.
Diriwayatkan tentangnya bahwa dia pernah melihat seorang yang sedang melakukan shalat dengan ringan (cepat), maka ketika orang itu telah selesai shalat, dia memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, Apakah anda tidak mempunyai keperluan kepada Tuhanmu ‘Azza wa Jalla?! Demi Allah sesungguhnya aku memohon kepada Allah di dalam shalatku segala sesuatu bahkan garam.”
‘Urwah bin Az-Zubair adalah juga seorang dermawan, pema’af dan pemurah. Di antara contoh kedermawanannya, bahwa dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di seantero Madinah. Airnya nikmat, pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya tinggi. Dia memagari kebunnya selama setahun untuk menjaga agar pohon-pohonnya terhindar dari gangguan binatang dan keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang waktu panen, buah-buahnya siap dipetik dan siap dimakan, dia menghancurkan kembali pagar kebunnya tersebut di banyak arah supaya orang-orang mudah untuk memasukinya.
Maka mereka pun memasukinya, datang dan kembali untuk memakan buah-buahnya dan membawanya pulang dengan sesuka hati. Dan setiap kali dia memasuki kebunnya ini, dia mengulang-ulang firman Allah, “Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu ” MASYA ALLAH, LAA QUWWATA ILLA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)” (Q.,s.al-Kahfi:39)
Dan pada suatu tahun dari kekhilafahan al-Walid bin Abdul Malik (khalifah ke enam dari khalifah-khalifah Bani Umayyah, dan pada zamannya kekuasaan Islam mencapai puncaknya), Allah Azza wa Jalla berkehendak untuk menguji ‘Urwah bin az-Zubair dengan ujian yang berat, yang tidak akan ada orang yang mampu bertahan menghadapinya kecuali orang yang hatinya penuh dengan keimanan dan keyakinan.
Khalifah kaum muslimin mengundang ‘Urwah bin az-Zubair supaya mengunjunginya di Damaskus, lalu Urwah memenuhi undangan tersebut dan membawa serta putra tertuanya. Dan ketika sudah datang, Khalifah menyambutnya dengan sambutan yang hangat dan memuliakannya dengan penuh keagungan. Namun saat di sana, Allah SWT berkehendak lain, tatkala putra ‘Urwah memasuki kandang kuda al-Walid untuk bermain-main dengan kuda-kudanya yang tangkas, lalu salah satu dari kuda itu menendangnya dengan keras hingga dia meninggal seketika.
Belum lama sang ayah yang bersedih menguburkan putranya, salah satu kakinya terkena tumor ganas (semacam kusta) yang dapat menjalar ke seluruh tubuh. Betisnya membengkak dan tumor itu dengan sangat cepat berkembang dan menjalar. Karena itu, Khalifah memanggil para dokter dari segala penjuru untuk tamunya dan meminta mereka untuk mengobatinya dengan segala cara. Akan tetapi, para dokter sepakat bahwa tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain memotong betis ‘Urwah, sebelum tumor itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan merenggut nyawanya. Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak menerima kenyataan itu.
Ketika dokter bedah datang untuk memotong betis ‘Urwah dan membawa peralatannya untuk membelah daging serta gergaji untuk memotong tulang, dia berkata kepada ‘Urwah, “Menurutku anda harus meminum sesuatu yang memabukkan supaya anda tidak merasa sakit ketika kaki anda dipotong.”Maka Urwah berkata, “O..tidak, itu tidak mungkin! Aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap kesembuhan yang aku harapkan.” Maka dokter itu   berkata lagi, “Kalau begitu aku akan membius anda.” Urwah berkata,“Aku tidak ingin, kalau ada satu dari anggota badanku yang diambil sedangkan aku tidak merasakan sakitnya. Aku hanya mengharap pahala di sisi Allah atas hal ini.”
Ketika dokter bedah itu mulai memotong betis, datanglah beberapa orang tokoh kepada ‘Urwah, maka ‘Urwah pun berkata, “Untuk apa mereka datang?.” Ada yang menjawab, “Mereka didatangkan untuk memegang anda, barangkali anda merasakan sakit yang amat sangat, lalu anda menarik kaki anda dan akhirnya membahayakan anda sendiri.” Lalu ‘Urwah berkata,
“Suruh mereka kembali. Aku tidak membutuhkan mereka dan berharap kalian merasa cukup dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan.”
Kemudian dokter mendekatinya dan memotong dagingnya dengan alat bedah, dan ketika sampai kepada tulang, dia meletakkan gergaji padanya dan mulai menggergajinya, sementara ‘Urwah membaca, “Lâ ilâha illallâh, wallâhu Akbar.” Dokter terus menggergaji, sedangkan ‘Urwah tak henti bertahlil dan bertakbir hingga akhirnya kaki itu buntung. Kemudian dipanaskanlah minyak di dalam bejana besi, lalu kaki Urwah dicelupkan ke dalamnya untuk menghentikan darah yang keluar dan menutup luka. Ketika itulah, ‘Urwah pingsan sekian lama yang menghalanginya untuk membaca jatah membaca Kitab Allah pada hari itu. Dan itu adalah satu-satunya kebaikan (bacaan al-Qur’an) yang terlewati olehnya semenjak dia menginjak remaja. Dan ketika siuman, ‘Urwah meminta potongan kakinya lalu mengelus-elus dengan tangannya dan menimang-nimangnya seraya berkata,
“Sungguh, Demi Dzat Yang Mendorongku untuk mengajakmu berjalan di tengah malam menuju masjid, Dia Maha mengetahui bahwa aku tidak pernah sekalipun membawamu berjalan kepada hal yang haram.”
Kemudian dia mengucapkan bait-bait sya’ir karya Ma’n bin Aus,

Demi Engkau, aku tidak pernah menginjakkan telapak tanganku pada sesuatu yang meragukan
Kakiku tidak pernah mengajakku untuk melakukan kekejian
Telinga dan mataku tidak pernah menggiringku kepadanya
Pendapatku dan akalku tidak pernah menunjuk kepadanya
Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah musibah menimpaku sepanjang masa melainkan ia telah menimpa orang sebelumku
Al-Walid bin Abdul Malik benar-benar merasa sedih terhadap musibah yang menimpa tamu agungnya. Dia kehilangan putranya, lalu dalam beberapa hari kehilangan kakinya pula, maka al-Walid tidak bosan-bosan menjenguknya dan mensugestinya untuk bersabar terhadap musibah yang dialaminya.
Kebetulan ketika itu, ada sekelompok orang dari Bani ‘Abs singgah di kediaman Khalifah, di antara mereka ada seorang buta, lalu al-Walid bertanya kepadanya perihal sebab kebutaannya, lalu orang itu mejawab,
“Wahai Amirul mukminin, di dalam komunitas Bani ‘Abs tidak ada orang yang harta, keluarga dan anaknya lebih banyak dariku. Lalu aku bersama harta dan keluargaku singgah di pedalaman suatu lembah dari lembah-lembah tempat tinggal kaumku, lalu terjadi banjir besar yang belum pernah aku saksikan sebelumnya. Banjir itu menghanyutkan semua yang aku miliki; harta, keluarga dana anak. Yang tersisa hanyalah seekor onta dan bayi yang baru lahir. Sedangkan onta yang tersisa itu adalah onta yang binal sehingga lepas. Akibatnya, aku meninggalkan sang bayi tidur di atas tanah untuk mengejar onta tersebut. Belum begitu jauh aku meninggalkan tempat ku hingga tiba-tiba aku mendengar jeritan bayi tersebut. Aku menoleh namun ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala yang sedang menyantapnya. Aku segera menyongsongnya namun sayang aku tidak bisa menyelamatkannya, karena srigala telah membunuhnya. Lalu aku mengejar onta dan ketika aku berada di dekatnya, ia menendangku dengan kakinya. Tendangan itu mengenai wajahku, sehingga keningku robek dan mataku buta. Begitulah aku mendapatkan diriku di dalam satu malam telah menjadi orang yang tanpa keluarga, anak, harta dan mata.”
Maka al-Walid berkata kepada pengawalnya,
“Ajaklah orang ini menemui tamu kita ‘Urwah bin az-Zubair. Mintalah dia mengisahkan ceritanya supaya ‘Urwah mengetahui bahwa ternyata masih ada orang yang mengalami cobaan yang lebih berat darinya.”
Ketika ‘Urwah diangkut ke Madinah dan dipertemukan dengan keluarganya, dia mendahului mereka dengan ucapan, “Jangan kalian merasa ngeri terhadap apa yang kalian lihat. Allah ‘Azza wa Jalla telahmenganugerahuiku empat orang anak, lalu mengambil satu di antara mereka dan masih menyisakan tiga orang lagi. Segala puji hanya untuk-Nya. Dan Dia memberiku empat anggota badan, kemudian Dia mengambil satu darinya dan menyisakan tiga untukku, maka segala puji bagi-Nya. Dia juga telah memberiku empat buah yang memiliki ujung (kedua tangan dan kedua kaki-red.,), lalu Dia mengambilnya satu dan menyisakan tiga buah lagi untukku. Dan demi Allah, Jika pun Dia telah mengambil sedikit dariku namun telah menyisakan banyak untukku. Dan jika pun Dia mengujiku satu kali namun Dia telah mengaruniaiku kesehatan berkali-kali.”
Ketika penduduk Madinah mengetahui kedatangan imam dan orang ‘alim mereka, ‘Urwah bin az-Zubair, mereka berbondong-bondong datang ke rumahnya untuk menghibur dan menjenguknya. Di antara untaian kata ta’ziah yang paling berkesan adalah perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah kepadanya,
“Bergembiralah wahai Abu Abdillah! salah satu anggota badan dan anakmu telah mendahuluimu menuju surga dan yang keseluruhannya akan mengikuti yang sebagiannya itu, insya Allah Ta’ala. Sungguh, Allah telah menyisakan sesuatu darimu untuk kami yang sangat kami butuhkan dan perlukan, yaitu ilmu, fiqih dan pendapat anda. Mudah-mudahan Allah menjadikan hal itu bermanfaat bagimu dan kami. Allah lah Dzat Yang Maha menanggung pahala untukmu dan Yang menjamin balasan kebaikan amalmu.”
‘Urwah bin az-Zubair tetap menjadi menara hidayah, petunjuk kebahagiaan dan penyeru kebaikan bagi kaum muslimin sepanjang hidupnya. Dia sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya, khususnya, dan anak-anak kaum muslimin lainnya, umumnya. Dia tidak pernah membiarkan kesempatan berlalu tanpa digunakannya untuk memberikan penyuluhan dan nasehat kepada mereka.
Di antara contohnya, dia selalu mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu ketika berkata kepada mereka, “Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan kerahkanlah segala kemampuan dengan semestinya. Karena, jika kamu sekarang ini hanya sebagai orang-orang kecil, mudahan-mudahan saja berkat ilmu, Allah menjadikan kamu orang-orang besar.” Penuturan lainnya, “Aduh betapa buruknya, apakah di dunia ini ada sesuatu yang lebih buruk daripada orang tua yang bodoh?.”
Dia juga menyuruh mereka untuk menilai sedekah sebagai hadiah yang dipersembahkan untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu, dalam ucapannya,“Wahai anakku, janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu mempersembahkan hadiah kepada Rabb-nya berupa sesuatu yang dia merasa malu kalau dihadiahkan kepada tokoh yang dimuliakan dari kaumnya. Karena Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Paling Mulia, dan Paling Dermawan serta Yang Paling Berhak untuk dipilihkan untuk-Nya.”
Dia juga pernah memberikan pandangan kepada mereka (anak-anaknya) tentang tipikal manusia dan seakan mengajak mereka menembus langsung menuju siapa inti dari mereka itu, “Wahai anakku, jika kamu melihat seseorang berbuat kebaikan yang amat menawan, maka harapkanlah kebaikan dengannya meskipun di mata orang lain, dia seorang jahat, karena kebaikan itu memiliki banyak saudara. Dan jika kamu melihat seseorang berbuat keburukan yang nyata, maka menghindarlah darinya meskipun di mata orang lain, dia adalah orang baik, karena keburukan itu juga memiliki banyak saudara. Dan ketahuilah bahwa kebaikan akan menunjukkan kepada saudara-saudaranya (jenis-jenisnya yang lain), demikian pula dengan keburukan.”
Dia juga berwasiat kepada anak-anaknya supaya berlaku lemah lembut, berbicara baik dan bermuka ramah. Dia berkata, “Wahai anakku, sebagaimana tertulis di dalam hikmah, ‘Hendaklah kamu berkata-kata baik dan berwajah ramah niscaya kamu akan lebih dicintai orang ketimbang cinta mereka kepada orang yang selalu memberikan mereka hadiah.”
Bilamana dia melihat manusia cenderung untuk berfoya-foya dan menilai baik kenikmatan duniawi, dia mengingatkan mereka akan kondisi Rasulullah SAW yang penuh dengan kesahajaan kehidupan dan kepapaan. Di antara contohnya adalah sebagaimana yang diceritakan Muhammad bin al-Munkadir (seorang tabi’i dari penduduk Madinah, wafat pada tahun 130 H), “Saat ‘Urwah bin az-Zubair menemuiku dan memegang tanganku, dia berkata, ‘Wahai Abu Abdullah.’ Lalu aku menjawab, “Labbaik.” Kemudian dia berkata, “Saat aku menemui Ummul mukminin ‘Aisyah RA, dia berkata, ‘Wahai anakku.’ Lalu aku menjawab, ‘Labbaik.’ Beliau berkata lagi, ‘Demi Allah, sesungguhnya kami dahulu pernah sampai selama empat puluh malam tidak menyalakan api di rumah Rasulullah SAW, baik untuk lentera ataupun yang lainnya.’ Lalu aku berkata, ‘Wahai Ummi, bagaimana kalian semua dapat hidup?’ Beliau menjawab, ‘Dengan dua benda hitam (Aswadân); kurma dan air.’
Selanjutnya ‘Urwah bin az-Zubair hidup hingga mencapai usia 71 tahun, yang diisinya dengan kebaikan, kebajikan dan ketakwaan. Ketika ajal menjelang, dia sedang berpuasa, lalu keluarganya ngotot memintanyanya agar berbuka saja namun dia menolak. Sungguh dia telah menolak, karena dia berharap kalau kelak dia bisa berbuka dengan seteguk air dari sungai Kautsar di dalam bejana emas dan di tangan bidadari.