KOTAK INFAQ

KOTAK INFAQ

Rabu, 23 Desember 2015

Imam Madzhab

IMAM ASY- SYAFI'I
(150 H – 204 H)


NASABNYA 
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi' bin Sa'ib bin Ubaid Bin Abdi Yazid bin Ha'syim  bin Mutholib bin Abdi Manaf bin Kusay bin Kilab bin Murah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Gholib. Kunyah beliau adalah Abu Abdillah al-Quraisy asy-Syafi'I al-Makki. Beliau adalah keturunan Quraisy yang nasabnya bertemu Rasululloh saw pada kakek nomer tiga, Abdi Manaf dan nama Hasyim datuk keenamnya bukanlah Hasyim kakek kedua rasululloh dan Saib kakek yang ke empatnya dikala dulu masih musyrik yang tertawan kaum muslimin dalam perang Badar Kubro.
Ibunya dari Bani Azdiyah yaitu Sayyidah Fatimah Ummu Habibah al Azdiyah binti Abdulloh bin Hasan bin Husain bin Ali Bin Abi tholib. Jadi silsilah keturunan dari fihak ibunya erat kaitanya dengan silsilah keturunan Nabi Muhammad Saw. Beliau disebut Syafi’I karena dinisbahkan (dibangsakan) kepada datuknya yang ke-3, yaitu Syafi’I bin As Sa’ib. Datuk beliau Syafi’I dan As Sa’ib termasuk Sahabat Nabi Muhammad Saw.
Imam As-syafi'I di beri gelar dengan Nasirul Hadis (pembela hadis) karena kegigihan beliau dalam membela hadis dan Faqihul Milat ( faqihnya umat ini) dan A'lim Al-Ashr (orang yang paling alim pada zamannya).

 KELAHIRANNYA
  Imam Syafi'I dilahirkan di Ghuzzah atau Gazha wilayah Asqolan yang letaknya di dekat pantai Putih ( Laut Mati ) sebelah tengah Syam atau Palestina pada bulan Rajab tahun 150 H bertepatan dengan tahun 767 M.kelahiran Imam Syafi'I tepat pada malam wafatnya Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit. oleh karena itu setelah nama Syafi'I mulai populer, muncul sebuah ungkapan, '' Telah tenggelam satu bintang dan muncul bintang yang lain.''
Sanjungan seperti itu di isyaratkan pula oleh beberapa hadis riwayat Ali bin Abi Thalaib dan Ibnu Abbas yang menerangkan akan datangnya seorang Ulama besar yang kemashurannya memenuhi segala penjuru  dunia. ia datang dari golongan suku Quraisy.
Ibnu Mas'ud berkata, bahwa Rasululllah saw bersabda :''
لا تسبوا قريس فإ ن عالمها يملأ الأ رض علما اللهم أذاقت أولهم عذاب فأ ذ ق أخرهم نوالا
'' janganlah kamu mencela orang Quraisy karena kealiman mereka memenuhi bumi.Ya Allah, para pendahulu mereka telah engkau beri adzab, maka karuniailah anugerah bagi para penerus mereka .''
Walaupun Imam Syafi’I Rh dilahirkan di ghazzah, namun kampung halaman beliau di Makkah Al Mukaramah. Ayah bundanya bekunjung ke Ghazzah untuk suatu keperluan, dan tidak lama kemudian beliau disitu dalam keadaan yatim. Ayahandanya meninggal sewaktu beliau masih dalam kandungan dan dalam Riwayat Ibnu katsir bapaknya meninggal ketika beliau masih kecil begitu pula dengan Imam Adz-zahabi

MASA KECILNYA
 Imam As-syafi'I tumbuh di negeri Ghazzah sebagai orang yatim setelah ayahnya meninggal, sehingga berkumpulah pada dirinya kefaqiran,keyatiman dan keterasingan dari keluarganya. sehingga untuk membeli kertas saja beliau tidak sanggup lalu beliau ketika ingin menulis menggunakan tulang-belulang dan sesuatu apa saja yang bisa di pakai untuk menulis. Namun kondisi ini tidak menjadikannya lemah dalam menghadapi kehidupan, ketika ia memasuki usia dua tahun Ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang yaman, karena ibunya dari suku Azdiyah. ketika Imam As-Syafi'I berumur 10 tahun ia  dibawa pulang oleh ibundanya ke Makkah, yaitu kampung halaman beliau. Karena ibunya  khawatir nasab yang mulia itu akan lenyap dan terlupakan.Di Makkah beliau tinggal di jalan bukit (syi’bil) khaif. Dibawah asuhan bundanya.
Pada waktu itu pemerintahan Islam dipegang oleh Abu Ja’far Al Mansur khalifah dari Dinasti Abasiyyah yang kedua di Baghdad               .

MASA-MASA BELAJARNYA

                 Sedang pertumbuhan dan pengembaraan beliau dalam menuntut ilmu dapat dibagi dalam tiga dekade waktu:


1.       Pendidikannya di Makkah
                Tumbuh dan berkembang dengan paman-paman beliau di Mekah.ia di Masukan oleh paman-pamannya di sekolah Al- Kuttab,yang ini merupakan  sekolah pertama bagi beliau. Sejak kecil sudah terlihat kejeniusan beliau dan telah menghapal Al Quran dalam umur 7 atau 9. dan beliau telah hafal al Muwatho’ Imam malik dalam umur 10 tahun dan telah berfatwa dalam umur 15 th atau 18 th dalam riwayat lain.
Dan juga Beliau belajar membaca Al-Qur’an pada Ismail bin Qunsthanthin. Beliau belajar sastra arab langsung pada Qabilah Hudzail yaitu Qabilah yang paling fasih bahas arabnyanya, Hudzail adalah salah satu qabilah  Badui di padang pasir , sehinga beliau sangat mahir dalam syair dan kesusastraan arab.namun demikian ia kurang tertarik menjadi seorang penyair. karena ia beranggapan bahwa ilmu tersebut kurang mendukung bagi dirinya dalam upaya mendalami ilmu Al-Qur'an. hal ini di tegaskan dalam sebuah syairnya :''
ولولا الشعر باالعلماء يزري
لكنت اليوم أشعر من لبيد
'' Andaikata syair itu tidak membuat ulama menjadi rendah, niscaya hari ini pun Aku bisa lebih hebat dari labid ( seorang penyair ulun) sa'at itu.
                Maka  setelah itu Beliau belajar Ilmu hadits dan fiqih pada mufti makkah, Muslim bin Khalid Az Zanji dan ulama’ Hadits Sufan bin ‘Uyainah       
                Di Makkah beliau juga belajar Ilmu tafsir dan ilmu Musthalahul Hadist. Dalam menuntut ilmu beliau terkenal sangat rajin dan tekun. Ketika gurunya Imam Muslim bin Khalid Al-Zanji  memperhatikan kemajuan yang pesat pada diri nya dan telah menguasai berbagai dispilin keilmuwan dan juga banyak menguasai persoalan-persoalan keagama'an yang ketika itu usia beliau baru  15 tahun.ia  telah diberi izin oleh gurunya Muslim bin Khalid Az Zanji untuk mengajar di Masjidil Haram dan juga memberikan fatwa kepada Masyarakat,sehingga jamaah haji pada tahun itu sangat kagum kepadanya.
Karena kepapaannya beliau belajar dengan diuji kekurangan dan penderitaan, namun demikian, ini bukan menjadi suatu kendala baginya yang membuat ia surut dan patah semangat dalam Thalibul Ilmi, tetapi semua kendala ini memberikan nilai yang tersendiri dalam arti hidupnya dan terus memompanya dalam meraih hal yang di cita-citakannya,  sampai beliau pernah mengataka ;
ما أفلح في العلم إلا من طلبه في القلة
Tidaklah akan mendapat kemenangan dalam menuntut ilmu melainkan orang yang menuntutnya dalam keadaan susah.
Berkat himmah Aliyah (semangat yang tinggi ) yang di milikinya dalam mencari ilmu serta rasa percaya diri yang kuat di sertai sikap Tawakal kepada Allah, telah mendorong Syafi'I menjadi pengahapal yang sangat luar biasa. sampai-sampai tidak satu persoalan pun yang di dengarnya kecuali dapat di rekam oleh otaknya.Pada periode pertama ini berakhir pada saat beliau berumur 15 tahun.
                               
2.      Belajar pada Imam Malik di Madinah( 170 H)
                Pada marhlah ini ia berusia 20 tahun ,lalu beliau melawat ke madinah, atas seizin gurunya Muslim bin Khalid Az Zanji, untuk belajar pada Imam Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki), seorang ulama’ terkemuka di Madinah dan tekenal dengan gelar Imam Darul Hjrah (Imam negeri tempat Nabi berhijrah).
                Imam Malik bin Anas seorang huffaz yang hafal 100.000 hadits. Hadits-hadits tesebut beliau teliti perawinya satu persatu kemudian arti dan tujuanya beliau cocokkan dengan kitab suci Al-Qr’an. Setelah diadakan penelitian ternyata dari 100.000 hadits itu, hanya 5000 hadits yang beliau anggap sangat shahih. Hadits yang 5000 buah inilah yang beliau kumpulkan dalam satu kitab yang berbentuk kitab fiqih yang dikenal dengan nama “Al Muwaththa’” artinya yang disepakati.         
                Imam Syafi’I R.h yang sudah hafal al Muwaththa’ itu ingin berguru langsung pada penyusunnya, yaitu Imam Malik bin Anas. Beliau belajar pada Imam Malik bin Anas dengan semangat berkobar-kobar. Kira-kira satu tahun beliau tidak pernah berpisah dengan guru besar itu sebagai Murid  dan sekaligus sebagai Asistennya dalam mendektekan kitab al-Muwaththa’ dan lain-lain kepada seluruh muridnya. Dengan demikian banyaklah kenalan beliau dari kalangan ulama’ yang datang ke Madinah untuk belajar pada Imam Malik sesudah selesai menunaikan ibadah haji, seperti Abdullah bin Al Hakam dan Asyhab bin Qasim Al laits bin Sa’ad dari Mesir dan ulama’-ulama’ lainnya dari Iraq. Dari ulama’-ulama’ itulah Imam Syafi’I r.a. mendengar bahwa di Baghdad dan Kufah banyak sekali terdapat ulama’ murid Imam Abu Hanifah karena itu tertariklah hati beliau utuk melawat ke Iraq
Dan yang jelas,tinggalnya Imam Syafi'I Rh di Madinah tidak terus menerus melainkan di selingi oleh kepulangannya ke Mekah untuk menengok Ibunya, dalam kepulangan itu, ia menyempatkan diri untuk mendengar Syair-Syair Qabilah Hudzail dan belajar kepada Ulama Mekah

3.        Belajar  di Kufah ( 172 H)
                 Sesudah dua tahun di Madinah,dan dirasa telah cukup mendalami hadis,As-Syafi'I mohon ijin untuk melanjutkan studinya kepada Ulama besar di kufah antara lain : Syekh Abu yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Hanafi keduanya adalah murid Imam Abu hanifah. mereka di kenal dengan aliran rasionalisme( Ahlur ra'yi). As–syafi'I sebagai seorang alumnus Madrasah Al-hadis asuhan imam Malik kemudian melanjutkan ke madrasah  Ar-ra'yi  asuhan Muhamad bin Hasan. sungguh merupakan perpaduan disiplin ilmu yang sangat menarik. dari sinilah dapat dipahami bahwa pemikiran Imam Syafi'I (Madzhab Syafi'I ) adalah merupakan perpaduan antara pemikiran tekstual (Madzhab Maliki) dan pemikiran rasional (madzhab Hanafi).pemikiran Madzhab Syafi'I merupakan sintesa antar keduanya 
                Dari Iraq kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke Persia, sampai ke anatholi (turki) terus ke Ramlah (Palestina) untuk menemui ulama’-ulama’ baik Tabi’in atau Tabi’ut Tabi’in..Dalam pengembara'anya itu, beliau juga mengetahui adat istiadat bangsa-bangsa selain Arab, yaitu Persia dan anatholi (turki). Hal ini sangat membantu beliau kelak dalam membangun fatwanya dalam mazhab Syai’i.
                Setelah pengembara'an dalam menuntut ilmu ini rampung dalam masa kurang lebih 2 tahun , dan ia merasa telah cukup Imam Syafi'I kembali ke Madinah untuk mengabdi kepada sang guru yang paling di sayanginya, ketika beliau datang ke Madinah tepat pada waktu Ashar dan langsung menuju ke Masjid Nabawi. sa'at itu Imam Malik sedang memberikan pengajian Al-Muwatha dan As-syafi'I langsung mengikuti pengajian itu, setelah selesai mengaji, baru ia menemui Imam Malik, keduanya berpelukan mesra sebagai curahan kerinduan antara sang guru dan murid yang saling menyayangi. Akhirnya syafi'I menetap di Madinah untuk berkhidmah kepada gurunya hingga Imam Malik wafat pada tahun  179H. beliau menetap di sana selama 14 tahun.
Sepeningal Imam Malik beliau berkehendak melanjutkan Rihlah Ilmiyahnya, lalu berangkatlah beliau. Imam Syafi'I mengawali perjalanannya menuju Negeri San'a di Yaman pada tahun 184 H,
 Di Negeri Yaman namanya sangat populer terutama di kalangan para Ulama. namun pada waktu itu beliau mendapatkan ujian dengan datangnya fitnah yang menyebar bahwa beliau adalah termasuk kaum Alawiyyin di Yaman yang menjadi kelompok sempalan keturunan Abdullah bin Hasan yang memberontak kepada Kekhalifahan Abbasiyah. maka khalifah seketika itu juga yaitu Harun Ar-Rosyid mengirim surat kepada Gubernur Yaman agar mengusir orang-orang Alawiyyin. maka mereka pun di antaranya Imam As-Syafi'I di giring dalam keada'an di borgol dengan Rantai dan di siksa sepanjang jalan menuju Irak. ketika mereka sampai di Irak mereka di Introgasi satu-persatu. ketika giliran As-Syafi'I menghadap Khalifah, ia sampaikan keterangan yang sesungguhnya dengan membaca ayat Al-Qur'an :

''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[ Qs.Al-hujrot :6]

       Mendengar ayat yang di baca tersentak hati Khalifah Harun Ar-Rosyid menjadi terenyuh, dan mau menerima keterangan Syafi'I tentang Identitas dirinya, setelah itu ia di bebaskan dan bahkan sang Khalifah memberinya sejumlah hadiah, namun ia tolak dengan sopan, dengan berkata : '' Ma'af, demi Allah, semoga Allah tidak mencoreng kemurnian perjuanganku akibat pemberian tuan, Akhirnya ia mohon diri meninggalkan Istana keraja'an Abbasiyah. .
Setelah di sana Lalu beliau ke Irak untuk yang kedua kalinya pada tahun 195 H dan menetap selama dua tahun  di sana ia bertemu dengan muridnya Imam Ahmad bin Hanbal Setelah itu beliau kembali ke Mekah disana beliau mengajar dan meberikan fatwanya dan dikenal sebagai dermawan yang selalu membagi-bagikan harta pada fakir miskin  di Mekah beliau hanya tinggal beberapa tahun. Setelah itu beliau ke Irak yang ketiga kalinya di tahun 198 H , setelah beberapa tahun kewafatan Abu Yusuf pada tahun 182 H dan muhammad bin Hasan pada tahun setelahnya 189 H dan kewafatan Harun Ar Rosyid pada tahun 193 H.
        Khalifah digantikan Al Mamun yang mendukung kaum Uluwiyyin selama beliau di Bagdad beliau kembali memberikan pengajaran kepada murid-muridnya. diantara muridnya disitu adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibat Fitnah yang sangat besar Menimpa umat islam ketika itu yaitu banyaknya Sunnah yang di tinggalkan akibat tercemar dengan Aqidah yang Rusak, Maka sang Imam demi menjaga Aqidahnya beliau menuju Mesir, di Irak beliau bermukim sekitar sebulan.
                Setelah itu beliau pergi ke Mesir pada tahun 199 / 200 H,yang merupakan Rihlah Ilmiyah terakhirnya, di Mesir inilah ia mengembangkan Madzhabnya yang merupakan tonggak pertama dalam penyebaran Madzhabya,setelah kesempurna'an Madzhabnya. beliau bermukim di sana sampai akhir kewafatannya di sana pula pula menjadi dosen di Universitas Amr-bin Ash. 
                        Dari ketiga dekade waktu diatas, dari mulai menuntut ilmu sampai memberikan fatwa, itu semua merupakan permulaan dari tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi'i. Dengan lahirnya Madzhab baru ini merupakan keberhasilan ijtihad pada abad ke-2 H. Madzhab ini semakin berkembang pesat terutama pada saat Imam Syafi'i menulis karyanya terbesar dalam ilmu Ushul Fiqh. Tatkala beliau datang ke Irak untuk kedua kalinya tahun 195 H, orang-orang berbondong-bondong datang kepadanya untuk berguru, mulailah Imam Syafi'i menyiarkan madzhabnya. Dalam pengajaran-pengajarannya terlihat bahwa ijtihad-ijtihad beliau berbeda dengan Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik. Semuanya itu terus berlanjut sampai beliau menuangkan ijtihad-ijtihad lamanya ke dalam sebuah buku "al-Kitab al-Baghdadi". Karena ijtihad-ijtihadnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada ketika itu, beliau kemudian berfikir untuk melakukan perjalanan ke negara lain. Tahun 199 H, Kairo menjadi tujuan perjalanan beliau dalam usaha mendirikan sekolah yang menitik-beratkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan Fiqh. Dan mengajarkan madzhab 'baru' beliau. Dikatakan baru, karena banyak mengganti ijtihad-ijtihad lama (qadim) yang beliau sampaikan waktu di Irak. Hal tersebut disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada (Mesir). Kemudian beliau mengumumkan bahwa yang barupun termasuk dalam madzhab beliau yaitu Madzhab Syafi'i.

MASA PERKAWINANNYA

                Sepeninggal Imam Malik, As-Syafi'I melanjutkan tugas gurunya sebagai pengasuh di Madrasah  Al-Hadis di masjid Nabawi, Madinah. namun tidak lama, ia di minta oleh Gubernur Yaman agar bersedia pindah ke Yaman untuk menjadi Qadhi di sana.
                Setelah pindah ke Yaman Syafi'I di nikahkan dengan seorang  putri bangsawan bernama Siti Hamidah binti Nafi (cucu sayidina Utsman.bin Affan ) setelah kewafatan Imam Malik tahun 197 H. waktu itu beliau berumur 29 atau 30 tahun.dari perkawinan itu mereka dianugerahi tiga anak,satu putra dan dua puteri  Yaitu Abu Utsman Muhammad, Fatimah, dan Zainab.    

PERANAN BELIAU DALAM BIDANG KEILMUWAN

Pertama :Imam Syafi'i dan Perumusan Hadits                       
Yang pertama kali muncul sebagai sistem pemikiran tentang hukum Islam adalah aliran al-ra'yi. Aliran ini berkembang di lembah Mesopotamia yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam pada saat itu yaitu Baghdad. Aliran ini diwakili oleh Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi yang oleh sebagian kalangan–Ulama-ulama Hijaz- diklaim tidak memperdulikan Hadits, ternyata tanpa dasar. Karena diketahui Abu Hanifah sendiri mempunyai koleksi Hadits, namun secara umum dapat dikatakan bahwa madzhab Hanafi menggunakan metode pemahaman hukum yang lebih rasionalistik, sehingga banyak yang memasukkannya ke dalam kelomok al-ra'yi.
Tapi hampir bersamaan dengan itu, perhatian besar terhadap As-Sunnah ditunjukkan oleh penduduk Madinah lewat seorang Ulama Madinah sendiri yaitu -Malik bin Anas- meskipun banyak bersandar pada hadits, ternyata Imam Malik sendiri pernah berguru pada Rabi'ah bin Farukh yang menganut aliran al-ra'yi. Namun Malik bin Anas lebih banyak mengambil ilmu yang berkenaan dengan hadits, bukan aliran ra'yunya.
Imam Syafi'i seolah-olah tampil diantara keduanya, Hanafi dan Maliki. Beliau pernah berguru kepada Imam Malik-pendiri Madzhab Maliki- dan pernah juga menuntut ilmu pada Imam As-Syaibani-penganut Madzhab Hanafi-. Pengalaman berguru itu memberikan warna tersendiri dalam perkembangan madzhab beliau selanjutnya.
Dari Imam Malik, Imam Syafi'i mengambil ilmu tentang sunnah, akan tetapi justru Imam Syafi'i-lah yang memberi perumusan sistematik dan tegas bahwa tidak semua bentuk sunnah yang harus dipegang, akan tetapi yang benar-benar dari Nabi saw. Konsekwensinya ialah bahwa kritik terhadap sunnah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus dilakukan, dengan penyaringan mana yang benar-benar dari Nabi dan mana yang bukan. Semua laporan mengenai hadits harus dikenakan pengujian secara teliti menurut standar ilmiah tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan disiplin ilmu baru yaitu Musthalah Hadits yang juga disebut ilmu Dirayah al-Hadits.
Dalam bidang Kajian Ilmiah mengenai hadits tersebut Imam Syafi'i sebenarnya berperan lebih banyak sebagai peletak dasar. Berbagai pandangan dan teori beliau tentang hadits memerlukan waktu sekitar setengah abad untuk bisa terlaksana dengan baik. Pelaksana'an penelitian terhadap hadits tersebut memperoleh bentuknya setelah munculnya Ulama hadits dari Bukhara yaitu Imam Bukhari yang pada fase selanjutnya dilanjutkan oleh murid beliau keturunan Nisaphur yaitu Imam Muslim.
Tapi hasil karya kedua sarjana hadits tersebut masih jauh meliputi keseluruhan dari khabar/sunnah nabawiyah. Hal ini mendorong beberapa Ahli untuk meneruskan kajian dan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi saw. Dari hasil penelitian tersebut terkumpul enam buah buku hadits yang di kalangan kaum Sunni dianggap standar–meskipun dalam otoritas yang berbeda-beda- selain Shahihain, yaitu Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzi dan Sunan Nasa'i. Jadi kini setidaknya secara tertulis umat Islam (baca: kaum sunni) dalam upaya memahami agamanya harus berpegang terhadap Quran dan kumpulan hadits "al-Kutub al-Sittah".

Kedua: Merintis Ushul Fiqh
Al-Quran dan al-Sunnah adalah pegangan tekstual umat Islam yang obyektif. Namun keobyektifan dalil tersebut tidak menutup sama sekali kemungkinan adanya kesubyektifan dalam pemahaman dan pandangan. Oleh karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas, bagaimana bukti-bukti tekstual tersebut dipahami, lebih dari itu jika pesan itu terlaksana dalam kehidupan nyata yang senantiasa berubah dan berkembang ini, maka usaha memahaminya haruslah didekati dengan suatu metodologi penalaran tertentu. Metode penalaran tersebut –sebagaimana telah dikenal dalam disiplin ilmu tentang hukum Islam- adalah qiyas (qiyas tamtsili).
Sebagaimana ijma' ide mengenai pemakaian metode qiyas dalam memahami nash –khususnya dari segi legalnya- bukanlah tanpa persoalan dan kontroversi, karena adanya unsur intelektualisme dalam qiyas tersebut. Maka tak heran jika ia –qiyas- dicurigai sebagai bentuk lain dari aliran ra'y. Sekalipun begitu, metode qiyas tersebut diambil oleh Imam Syafi'i, lebih penting lagi, beliau juga memberikan kerangka teoritis dan metodologi yang canggih dalam bentuk kaidah-kaidah rasional, namun tetap praktis-yang selanjutnya lebih dikenal dengan Ilmu Ushul Fiqh.
Selain dasar-dasar konseptual tentang hadits, ilmu Ushul Fiqh juga merupakan sumbangan Imam Syafi'i yang besar dan penting dalam sejarah intelektual Islam. Dengan al- Al Qur-an, sunnah Nabi dan teori Imam Syafi'i tentang Ushul Fiqh, penjabaran hukum Islam dapat diawasi keotentikannya. Karena rumusan teoritisnya tentang hadits dan jasanya dalam merintis Ushul Fiqh, maka Imam Syafi'i diakui sebagai peletak utama dasar metodologi pemahaman hukum dalam Islam. Sebab teori dan rumusannya tidak saja diikuti oleh -pengikut madzhab Syafi'i- namun juga diikuti oleh madzhab lain. Dan bahkan jasa beliau tersebut oleh dunia Keilmuwan Islam sangat dihargai dan dikagumi sebagai intelektual besar yang pernah dilahirkan oleh sejarah.
        Imam As Suyuti mengelompokan beliau kedalam tobaqoh yang ke sembilan dalam ilmu rijal hadits.Beliau adalah orang yang pertama menegakan sendi-sendi Ilmu Usul Fiqh .

KEPRIBADIAN DAN KEUTAMA'AN BELIAU 

                Al-A'lamah ibnul Qayim mengatakan :'' Para ulama telah bersepakat akan ketinggian kedudukannya di kalangan Ahli Fiqh, Ahli Hadis, Ahli Ushul dan Ahli luggoh (sastra Arab) dan juka akan sifat Amanah, kejeniusannya, kezuhudannya, kewara'annya, dan ketakwa'annya, Dan pula segala sifat pembawa'annya yang mencerminkan akan ketingian derajatnya yang mewarnai kehidupannya .  
                Rabi bin Sulaiman dan Ibnu Abi Hatim mereka bekata : Sungguh Syafi’I telah menghatamkan Al Qur’an setiap satu bulan 30 juz dan dalam bulan Ramadan sebanyak 60 kali dan tidaklah ia lakukan bacaannya itu kecuali hanya di dalam sholat.
                Ahmad bin Muhammad berkata :'' Seandainya datang seseorang kepada Sufyan bin Uyainah yang bertanya tentang permasalahan Tafsir dan Fatwa, maka Sufyan menyuruhnya untuk mendatangi Imam Syafi`i   
                Robi’ sohibu Syafi’I pernah mendengar Asy Syafi’I berkata : ''Saya telah hatamkan Qur’an dalam bulan Ramadan sebanyak 60 kali.
                Imam Husain Al Karabisy berkata : Saya pernah suatu malam menginap di rumah Syafi’I maka tidaklah saya dapatkan ia kecuali bangun pada sepertiga malam terakhir.
                Kholifah Harun sering menangis mendengar nasehat beliau karena kedalaman dan kecerdasan beliau sehingga beliau hendak mengangkat Syafi’I menjadi seorang Qodhi akan tetapi beliau menolaknya. Juga ketika hendak mendapat hadiah uang sebesar 5000 dinar maka uang itu langsung beliau bagi-bagikan pada fakir miskin.
                Ibnu Yunus berkata: Syafi’I bila sedang menerangkan tafsir Al Qur’an seakan ia menyaksikan turunnya ayat.
                Imam Malik berkata ; Tidaklah seorang Quraisy yang lebih pandai dari anak muda ini.
                Dari Abu Muhammad bin Hayyan dari Ahmad bin Muhammad bin Yazid dari Abu Tohir: Saya telah mendengar Asy Syafi’I berkata: Bukanlah golongan kami seseorang yang tidak melagukan Al Qur’an maksudnya adalah bersedih dan merenungkannya.
                Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Apakah engkau belum melihat kepada kitab Asy Syafi’I tidaklah kitab yang mengikuti sunnah dari kitab karangan Asy Syafi’i.dan Imam Ahmad juga selalu mendoakan Imam Asy Syafi’I selama 40 tahun pada umurnya yang akhir .
                Imam Ahmad juga berkata :' Pada seratus tahun pertama Mujaddid itu adalah Umar bin Abdul Aziz dan seratus tahun kedua adalah Asy Syafi’i.
                Sesungguhnya, Imam Syafi'i bukan hanya seorang ulama ahli fiqh bertaraf mujtahid (pelaku ijtihad). Imam Syafi'i menguasai pula ilmu-ilmu lain di luar ilmu fiqh. Beberapa buku riwayat hidup (thabaqat) para ulama besar Islam tempo dulu – Rabi'e bin Sulaiman berkata :'' Sesungguhnya Imam Syafi'I Rh, setiap selesai salat subuh, Imam Syafi'i memimpin majelis taklim yang dihadiri para ulama ahli ilmu-ilmu Alquran, hingga Matahari terbit. Setelah itu, memimpin majelis taklim yang dihadiri para ulama Ahli hadits yang mereka bertanya tentang syarh dan ma'nanya hingga  menjelang shalat Duha Kemudian memimpin majelis taklim yang diikuti para Ahli bahasa dan sastra. Mendiskusikan masalah-masalah tatabahasa (Syaraf-Nahwu), keindahan bahasa (Balagah), seluk beluk ilmu sastra (Arudh dan Qawafi) dan syair-syair hingga  waktu salat duhur.. Dalam kata lain, pengetahuan Imam Syafi sangat holistik (menyeluruh), namun sekaligus spesialistik, karena tiap ilmu dikuasainya dengan  sangat mendalam. termasuk buku Tabaqathusy Syafi'iyyah karya Taqiyuddin Subqi – menyebutkan seperti itu.

PERKATA'AN-PERKATANNYA  
  1. '' Membaca hadis lebih baik daripada Shalat Thatawu dan Thalibul Ilmi lebih utama dari pada Shalat Nafilah.   
  2.  '' Ilmu itu adalah bagaikan binatang buruan, sedang mencatat adalah pengikatnya. ikatlah bintang buruanmu  dengan tali yang sangat kuat. Adalah kebodohan sekali jika anda memburu seekor kijang, kemudian anda lepas begitu saja tanpa tali pengikat.''
  3.  '' Semua ilmu selain Ilmu Al-Qur'an adala pengisi kesibukan, kecuali Ilmu Hadis, Fiqh,dan ilmu-ilmu agama lainnya ''Ilmu adalah apa-yang di terima melalui mata rantai sang guru. dan di luar itu adalah merupakan bisikan setan ''
  4. ''Barang siapa belajar al qur'an maka ia akan agung dipandangan manusia, barang siapa yang belajar hadis akan kuat hujjahnya,barang siapa yang belajar nahwu maka dia akan dicari, barang siapa yang belajar bahasa arab akan lembut tabiatnya, barang siapa yang belajar ilmu hitung akan banyak fikirannya, barang siapa belajar fiqih akan tinggi kedudukannya, barang siapa yang tidak mampu menahan dirinya maka tidak bermanfaat ilmunya dan inti dari itu semua adalah taqwa. ''

GURU –GURUNYA

  1. Dari Mekkah
beliau belajar al Quran dari Isma'il bin Qostantin
beliau belajar al hadits dari Sufyan bin Uyainah Muslim bin Kholid Azzaji, Said bin Salim al Qodah, Dawud bin Abdurrohman Al Itor dan Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rowad, Fudhail bin Iyadh dll
  1. Dari Madinah
beliau belajar as Sunah dari Imam Malik bin Anas, Ibrohim bin Sa'ad al Ansori, Abdul Aziz bin Muhamad Addawardi, Ibrohim bin Yahya al Asami, Muhamad bin Said bin abi fudaik dan abdulloh bin nafi assaigh.
  1. Dari Yaman :
beliau belajar al hadits dan fikih dari Mushorif bin Muzin, Hisyam bin Yusuf al Buti dari San'a Umar bin abi Salamah sahabat dari Imam al Auzai Yahya bin Hasan sahabat dari Allaits bin Sa'id dan Imam At Toifah.
4. Dari Irak :
Waki' bin Jaroh, abu Usamah, Hamad bin Usmah al Kufiyani, Islmail bin Aliyah dan Abdul Wahab Ats Tsaqofi bin Abdul Majid al Basriyani.
        Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Syafi’i telah belajar dari delapan puluh orang guru .

MURID-MURIDNYA 

                Imam Al-Bayhaqi Rh telah menyebutkan sebagian murid-muridnya, sebagimana di sebutkan pula oleh Al-Hafizh al-Mizzi dan Al-Al-Hafidz Ibnu Hajjar Al-Asqolani Rh. Para murid-muridnya yang mengambil ilmu dari Imam As-syafi'I berasal dari berbagai  penjuru negeri, baik dari hijaz, irak, Mesir dan lain sebagainya dari berbagai penjuru dunia islam dan hanya Allah swt saja yang mengetahui.
                Diantara murid muridnya yang terkenal adalah Imam Ahmad bin Hambal yang menjadi Imam Madzhab Hambali, Daud Adz-zohiri yang menjadi pencetus  Madzhab  Ad-Dzohiri, A bu Tsur ibrohim bin Kholid al Kalbi  yang menjadi pencetus Madzhab Ats-Sauri, dan Ibnu Jarir Ath-Thobri.
                Adapun Murid-Muridnya dari negeri Mesir yang mengambil langsung Ilmunya darinya setelah sempurnanya dan matang madzhabnya mereka adalah   Abu Ibrohim Ismail bin Yahya al Mazani, Ar Robi' bin Sulaiman al Maradi,Abu Ya'qub Yusuf bin Yahya al Buwaiti, kebanyakan dari peran merekalah Madzhab Syafi'I menyebar.
                Begitu pula dari berbagai penjuru negeri yang lain yaitu Hasan bin Muhammad as-sobah,  Az zafaroni, Husain al Karobisi, Abu, abu Muhammad, Robity bin Sulaiman al Jaizi, abu Hafs Harmalah bin yahya bin abdulloh Attujaibi, Abu Yusuf Yunus bin Abdul ‘Ala Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim al Misri dan Abdulloh bin Zubair al Hamidi

KARANGAN-KARANGANNYA

  1. Al Umm, kitab yang memuat tentang fiqih  & syariat dan berisi pula 128 permasalahan. yang terdiri dari 8juz dari 4 jilid. kitab ini memiki keutama'an yang sangat banyak. sampai –sampai Syekh Abu Zahrah Rh mengatakan '' Para ulama telah bersepakat atas kebenaran apa yang terdapat dalam kitab Al-Umm yang merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang di sandarkan kepadanya. dan kitab ini pula menjadi hujjah pertama dalam Madzhabnya dan menjadi kumpulan Qoul jadid  sang Imam.
  2. Kitab Ar Risalah, kitab ini terdiri dari satu jilid besar, di dalamnya Imam Syafi'I berbicara tentang Al-Qur'an dan penjelasannya, As-Sunnah berikut kedudukannya dari Al-Qur'an, mengupas Nasikh,Mansukh dan juga mengandung peletakan Qaidhah-Qaidhah Usul Fikih dan Ushul Hadis yang pertama kali. dan juga merupakan kitab rujukan kedua dalam Madzhabnya. kitab ini beliau mengarangnya dua kali, yang pertama di baghdad yang merupakan Qoul Qadimnya dan yang kedua ketika beliau di Mesir yang merupakan Qoul Jadidnya. tetapi antara keduanya memiliki keutama'an, yang masing –masing mengandung keilmuwan yang sangat banyak. kitab ini pula awal kali beliau menamainya dengan' Al-kitab '' atau Kitabi dan kitabuna ''lalu di sebut dengan Ar-Risalah di sebabkan beliau mengirimnya kepada sahabatnya Abdurrahman bin Mahdi. mulailah dari sini kitab itu di namai dengan Ar-Risalah.
  3. Kitab Az-Za'faron. Asal-usulnya, Ketika itu beliau sedang akan mengerjakan shalat disebuah masjid dan beliau mendapatkan seseorang yang sholat dengan cepat sekali lalu beliau tegur dan beliau buat dalam satu buku dengan nama ghulam tersebut.buku ini juga  menerangkan tentang dasar –dasar hujjah yang beliau tulis ketika berada di Irak.
  4. Jami'ul Ilmi, yang merupakan kitab kumpulan tentang sunnah Rasululloh
  5. Al-Imla as-Shaghir                9.   Mukhtasar Al-Rabi '
  6. Mukhtasar Al-Buwaithi             10.  Mukhtasor Al -Muzani.
  7. Kitab Ikhtilaf Al-Hadis.          11.  Musnad Imam.
  8. Kitab Al-jisyah.                  12.  Ilmu Ushul fiqih , dsb

 

WAFATNYA

Beliau wafat di Mesir setelah tinggal 5 tahun dari bulan syawal tahun 198 H sampai Rojab 204 H. Tepatnya pada malam Jum'at ba'da 'Isya pada bulan Rojab tahun 204 H. karena sakit bawasir dalam umur 54 tahun sebagaimana riwayat dari Utsman bin Muhammad Utsman bahwa ia mendengar dari Muhammad bin Ya’qub dari Robi’ bin Sulaiman Sohib Asy Syafi’I berkata : ''Umurnya ketika wafat telah mencapai 54 tahun, sewaktu habis maghrib sedang jenggotnya telah putih
Ketika Sultan Shalahuddien Al-ayyubi berkuasa. ia mendirikan tempat pendidikan terletak di makam As-syafi'I. Madrasah itu di beri nama Madrasah As-Shalahiyah yang kurikulumya khusus mengajarkan doktrin Madzhab Syafi'I Semoga Allah swt memberikan Rahmat kepadanya dan ilmu yang bermanfa'at bagi kita semua, Amin yaa raa bal A'lamin.

Demikianlah uraian singkat mengenai biografi Imam Syafi'i dan  Semoga bermanfaat.....!


الحمد الله رب العالمين



Referensi:
1.      Koleksi Syair Imam Syafi'I (Diwan As-syafi'i), Yusuf Syekh Muhammad Al-Baqi.
2.      Al-Bidayah Wan Nihayah,Ibnu Katsir.
3.      Manhaj Aqidah Imam As-syafi'I, Dr Muhammad Aw.Al-Wakil
4.      Siyarul’Alam An Nubala, Imam Ad z-Dzahabi
5.      Tarih Fiqh Islami, Badran Abu Aynani badran.
6.      Tarikh Tasyri, Al-Islami, Mana' Qathan.
7.      Khulashahasyri, Prof. AB.Wahhab Khollaf.
       


















Minggu, 27 September 2015

Ibnu Khaldun


Ibn Khaldun adalah seorang ilmuwan, sekaligus juga negarawan, sosiolog, ahli hukum, dan sejarawan. Memang, di kalangan masyarakat awam,

nama Ibn Khaldun kurang begitu dikenal, akan tetapi di kalangan akademisi beliau sangat kesohor berkat teori-teorinya mengenai sosiologi, hukum kenegaraan, dan sejarah Islam.

Hal ini terbukti dengan begitu banyak karya-karya yang dihasilkannya. Hingga menjelang berakhirnya abad ke-20 tidak kurang dari 900 buku, artikel, disertasi, review, dan bentuk-bentuk publikasi ilmiah lainnya tentang Ibn Khaldun dan karya monumentalnya al Muqaddimah yang telah ditulis oleh para sarjana Barat maupun Timur.

Wali al Din Abu Zaid ‘Abd ar-Rahman bin Muhammad Ibn Khaldun al Hadrami al Ishbili, yang lebih populer dengan sebutan Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406 M. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian pindah ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 setelah semenanjung itu dikuasai oleh Arab Muslim dari Dinasti Umayah.

Keluarga Ibn Khaldun selama berabad-abad dikenal menduduki posisi tinggi dan terhormat dalam politik di Spanyol sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Seville jatuh ke tangan penguasa Kristen pada 1248 M. Setelah terusir ini, keluarga Ibn Khaldun selanjutnya menetap di Tunisia, suatu negeri yang juga merupakan negeri St.Augustine (354-430 M), penggagas filsafat sejarah Kristen dengan karnyanya De Civitate Dei (Kota Tuhan) yang terkenal itu.

Seperti halnya banyak anak Arab, Ibn Khaldun mulai menghafal Al Quran sejak kecil. Ia belajar tafsir, hadits, usul fiqh, dan fiqh Madzhab Maliki. Ilmu-ilmu bahasa (nahwu, sharaf, dan balaghah), fisika, dan matematika didalaminya pula, sehingga pada usia 17 tahun Ibn Khaldun telah menguasai beberapa disiplin ilmu, termasuk umul’aqliyah (ilmu-ilmu kefilsafatan, logika, tasawuf, dan metafisika). Di bidang hukum, ia mengikuti Madzhab Maliki, madzhab yang dominan di Tunisia pada waktu itu. Ibn Khaldun juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain.

Dalam usianya yang masih belia (20 tahun), Ibn Khaldun telah agak jauh terlibat dalam bermacam kegiatan politik. Persaingan yang keras, saling menjatuhkan, saling menghancurkan, bukanlah fenomena asing yang dirasakan Ibn Khaldun saat itu. Yang cukup menarik untuk dicatat adalah bahwa Ibn Khaldun muda seakan menikmati iklim adu kekuatan seperti itu. Dinasti-dinasti kecil bersaing satu sama lain sebagai pertanda dari proses membusuknya imperium Arab Muslim di Afrika Utara. Dinasti-dinasti itu adalah Banu Hafsiah di Tunisia, Al Marin di Maroko, Al Mahdi di Bijjaya, Banu Nashr di Granada, dan pusat-pusat kekuasaan lainnya. Itulah Ibn Khaldun si politikus, bukan Ibn Khaldun si ilmuwan yang sangat berbeda nantinya.

Setelah ia memutuskan meninggalkan gelanggang politik dan terjun secara lebih tuntas di dunia ilmiah, berbagai karya besar dihasilkannya, termasuk karya masterpiece "al Muqaddimah" dan "Kitab al Ibar", yang diselesaikannya selama empat tahun (mulai tahun 780 M) di Istana Qal’at ibn Salamah, sebuah tempat di kota Frenda, Aljazair.



Kultur Intelektual

Ibn Khaldun adalah seorang yang rendah hati, tek pernah mengaku bahwa disiplin ilmu yang digarapnya sudah sempurna. Ia tidak menuntut orang agar mengikuti saja apa yanga dia sajikan. Sebaliknya, justru ia berharap para sarjana generasi berikutnya mengambil bagian dalam usaha mengembangkan disiplin ilmu itu. Inilah makna ucapannya dalam kalimat-kalimat terakhir kitabnya, Al Muqaddimah, "…Sekarang kami bermaksud menyudahi pembicaraan dalam buku pertama ini tentang hakikat peradaban dan peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Kami telah menggarap secara memadai masalah-masalah bersangkutan dengana hal itu. Barangkali (sarjana) yang akan datang, yang mendapat keteguhan dari Allah dengan karunia pikiran sehat dan pengetahuan yang jelas, akan mampu menembus persoalan ini lebih banyak daripada yang kami tulis. Seseorang yang menciptakan disiplin baru tidaklah harus menggarap keseluruhan persoalan yang terkait dengan disiplin itu. Para penerusnya dapat secara berangsur-angsur menambah persoalan baru sehingga disiplin itu kelak menjadi sempurna."

Sayangnya, harapan dan antisipasi itu tidak terjadi di kalangan muslim. Kultur intelektual masyarakat waktu itu tidak mendukung harapan tersebut. Dunia Islam sangat terlambat mengenal dan menghargainya. Memang kemudian tumbuh penghargaan terhadap karyanya, tetapi penghargaan itu bersifat politis, bukan secara intelektual. Pada abad 16-17 M para pejabat pemerintah dan sarjana Turki Utsmani merasa perlu mendapatkan petunjuk praktis bagi kepentingan mereka dalam kitab al Muqaddimah.

Prof. Philip K. Hitti, dalam bukunya Makers of Arab History, menyajikan keterangan menarik tentang kultur intelektual masyarakat muslim waktu itu. Ibn Khaldun, katanya, dilahirkan pada zaman yang salah dan di tempat yang salah pula. Ia tampil terlalu lambat untuk dapat membangkitkan respon di kalangan umatnya sendiri yang tidur nyenyak pada abad pertengahan, atau untuk menemukan calon penerjemah di kalangan sarjana Eropa. Ia tak punya pendahulu dekat. Juga tak punya penerus. Tidak ada aliran pikiran yang dapat dinamakan "Khaldunisme".

Padahal para peneliti, khususnya para pemikir politik, menganggap bahwa Ibn Khaldun telah berhasil menemukan sesuatu yang baru di bidang ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Dalam bukunya, al Muqaddimah, ia menulis bahwa ia telah menemukan suatu ilmu yang baru (‘Ilmun Mustaqillun binafsihi) yang belum pernah ditemukan orang sebelumnya.

Ia mengemukakan alasan bahwa pengetahuan umat manusia itu sangat banyak jumlahnya, sedangkan yang sampai ke tangan kita hanyalah ilmu pengetahuan satu bangsa saja, yaitu bangsa Yunani. Itu pun karena beberapa Khalifah Abbasiyyah menyediakan dana dan fasilits yang cukup besar untuk penerjemahan karya-karya itu. Ibn Khaldun menegaskan bahwa kita belum mengetahui kandungan ilmu pengetahuan bangsa Persia yang dilarang oleh Umar ibn Khattab (Khalifah ke-2) untuk dipelajari. Demikian juga kandungan ilmu pengetahuan bangsa Suryani, Qutbi, dan Babilonia.



‘Ashabiyyah

Tak perlu dikemukakan panjang lebar, Ibn Khaldun adalah pemikir multidisiplin, banyak gagasan Ibn Khaldun paralel, jika tidak dapat dikatakan mempengaruhi ilmuwan Barat yang muncul sesudahnya, seperti Machiavelli, Vico, Montesquie, Adam Smith, August Comte, Durkheim, Tonnies, dan bahkan Karl Marx.

Ibn Khaldun adalah sejarawan yang pertama kali memperkenalkan pendekatan baru dalam sejarah, yang kini dikenal sebagai sociological history yang menekankan pentingnya sosiologi bagi sejarah. Dalam mempelajari masa lampau ia tidak saja membahas kegiatan-kegiatan individual, tapi juga menganalisis hukum-hukum, kebiasaan, dan pranata-pranata berbagai bangsa. Hasilnya adalah sebuah filsafat sejarah yang lazim disebut cyclical history.

Pendapatnya tentang kebudayaan atau ilm al ‘Umran ia jelaskan dalam bangkit dan runtuhnya kebudayaan kota (hadlara). Menurutnya, elan vital bagi kebangkitan dan kemajuan peradaban adalah apa yang disebutnya ‘ashabiyyah. Istilah ini sudah digunakan sejak masa pra-Islam (jahiliyah), tetapi dengan konotasi negatif yakni "fanatisme" kekabilahan yang sempit yang mengalahkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka sendiri, sehingga sangat chauvinistis (kebanggaan terhadap bangsa tertentu), bahkan rasis.

Akan tetapi ‘ashabiyyah yang dikehendaki oleh Ibn Khaldun adalah yang berupaya mendapatkan titik temu antara prinsip Islam tentang ukhuwah Islamiyah dengan ‘ashabiyyah. Yang inilah yang mengandung pengertian rasa solidaritas, kesetiaan kelompok, esprit de corps, dan bahkan nasionalisme.

Ibn Khaldun memang seorang sosiologis-agamis. Meski ia melihat kenyataan, ia juga mengemukakan preferensi. ‘Ashabiyyah yang disertai agama akan bertambah kuat sehingga masyarakat tambah bersatu. Rasa agama yang melemah akan menggerogoti ‘ashabiyyah tersebut. Sebaliknya, gerakan agama tidak akan berhasil jika tidak disertai ‘ashabiyyah. Di sini, tampaknya Ibn Khaldun menekankan ‘ashabiyyah sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan suatu reformasi dan revolusi.

Bagi masyarakat agamis, ‘ashabiyyah bukan saja diperlukan untuk menghadapi lawan, tapi juga untuk menjamin terlaksananya hukum-hukum syari’at. Demikianlah sekilas tentang profil Ibn Khaldun yang malang-melintang di berbagai sisi kehidupan yang penuh gejolak dan multi dimensi.

Kamis, 23 Juli 2015

GALERI KEGIATAN BERKAH SEMARAK RAMADHAN TAHUN 1436H/2015M

Alhamdulillah dengan seijin Allah dan Partisipasi kaum Muslimin dan Muslimat serta usaha keras dari panitia Berkah Semarak Ramadhan, Sehinnga seluruh kegiatan yang terangkum dalam Program Semarak Ramadhan Telah Sukses dilaksanakan serta berjalan dengan lancar.
Berikut ini galeri kegiatan Ramadhan tahun 1436H/2015M :

Kajian Ramadhan



Santunan Pendidikan



Bakti Sosial

 ZIS

Pelaksanaan Sholat Id